DIALEKSIS.COM | Jakarta - Menanggapi pernyataan anggota DPR RI dari Partai Demokrat, Benny K. Harman, yang meminta agar rakyat Aceh "jangan sedikit-sedikit bawa MoU Helsinki" dalam diskusi revisi UU Pemerintahan Aceh (UUPA), Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Dr. Sahruddin Lubis, S.IP., M.Si., memberi penilaian yang tenang namun tegas. Menurutnya, pernyataan Benny perlu dibaca utuh agar konteks dan maksudnya tidak mudah disalahpahamkan.
“Memang susah kalau merespon tidak bijak dan cenderung reaktif dalam menilai isi pidato Benny K. Harman,” ujar Dr. Sahruddin membuka komentarnya kepada Dialeksis saat diminta tanggapannya.
Ia mengatakan telah mendengarkan pidato Benny secara utuh dan menyampaikan tiga kesimpulan penting yang ia peroleh dari pembicaraan tersebut.
Pertama, menurut Sahruddin, Benny tampak setuju dengan upaya revisi UU Otsus tetapi dengan satu syarat pokok: dana Otsus untuk Aceh tetap dipertahankan. Pernyataan ini, kata Sahruddin, menunjukkan bahwa posisi Benny bukan menolak pemberian otonomi khusus, melainkan menekankan mekanisme dan tujuan pemanfaatannya.
Kedua, Sahruddin mencatat bahwa Benny, sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam pembahasan UUPA pada periode-periode sebelumnya, juga melontarkan kritik terhadap penggunaan dana Otsus selama dua dekade terakhir khususnya soal efektivitas dana tersebut dalam menuntaskan persoalan kemiskinan dan ketimpangan di Aceh.
“Kritik semacam ini relevan sebagai bagian dari fungsi pengawasan legislatif terhadap penggunaan anggaran negara,” ujarnya.
Ketiga, lanjutnya, Benny mengingatkan agar para pemangku kepentingan Aceh -- baik Pemerintah Aceh maupun DPR Aceh (DPRA) serta wakil-wakil Aceh di DPR RI-- juga melakukan refleksi internal.
“Kenyataannya, kritik Pak Benny bukan sekadar menutup sejarah; ia menuntut agar elite Aceh juga harus jujur menilai kinerja sendiri selama 20 tahun dana Otsus bergulir,” kata Sahruddin.
Menyambung rangkaian itu, Sahruddin menegaskan penilaiannya: “Menurut saya, apa yang disampaikan Benny K. Harman sangat masuk akal.
Disamping ia setuju dengan perpanjangan dana Otsus, ia juga mengkritisi pola penggunaan dana yang selama ini belum sepenuhnya menjawab persoalan struktural Aceh. Pernyataan ini, menurutnya, harus dipahami sebagai masukan substantif dalam proses revisi UUPA, bukan semata-kontroversi retoris.
Sahruddin juga mengingatkan fungsi konstitusional DPR RI sebagai penguasa anggaran. “DPR memiliki tanggung jawab untuk mengevaluasi penggunaan dana negara selama 20 tahun sejauh mana dana Otsus benar-benar efektif mewujudkan tujuan yang tertulis dalam UUPA. Itu tugas legislatif yang wajar dan perlu dijalankan dengan data serta dialog yang terbuka,” ujar Sahruddin.
Pernyataan Benny K. Harman itu sendiri telah memicu beragam respons di Aceh; beberapa tokoh dan lembaga menilai pernyataan tersebut mengabaikan dimensi historis dan hak-hak yang tercantum dalam Nota Kesepahaman Helsinki yang ditandatangani 15 Agustus 2005, sementara pihak lain mengapresiasi seruan untuk akuntabilitas dan fokus pada hasil.
Menutup komentarnya, Dr. Sahruddin mengimbau semua pihak untuk menenangkan suasana dan mengedepankan epistemic humility menerima kritik berbasis bukti, membuka ruang introspeksi, dan melanjutkan dialog konstruktif antara pusat dan daerah.
“Proses revisi UUPA harus menjadi momentum memperkuat tata kelola, bukan memancing retorika yang memperuncing luka sejarah,” tutupnya.