Minggu, 16 November 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Aktivis Minta Evaluasi Otsus Aceh Fokus pada Desain Kebijakan Bukan Stigma

Aktivis Minta Evaluasi Otsus Aceh Fokus pada Desain Kebijakan Bukan Stigma

Sabtu, 15 November 2025 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Aktivis Demokrasi Aceh, Sofyan. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivis Demokrasi Aceh, Sofyan mengatakan persoalan mengenai efektivitas Otonomi Khusus (Otsus) Aceh kembali memanas setelah Anggota Komisi III DPR RI, Benny K. Harman, mengeluarkan pernyataan tajam dalam RDPU dengan menanyakan, “20 tahun sudah bikin apa?”.

Ia menilai bahwa kritik itu sah-sah saja, namun harus ditempatkan dalam kerangka evaluasi yang adil, ilmiah, dan tidak menyederhanakan kompleksitas persoalan Aceh. 

Ia menegaskan bahwa perjalanan Otsus selama dua dekade tidak dapat dipahami hanya dari satu sudut pandang, apalagi jika tanpa melihat faktor struktural yang juga membentuk hasil kebijakan.

Dalam hal ini, ia mengatakan pentingnya evaluasi Otsus melalui pendekatan policy diagnosis, bukan sekadar retorika atau saling menyalahkan.

“Pertanyaan 20 tahun sudah bikin apa?, bisa memicu evaluasi, tetapi tidak boleh menyesatkan. Evaluasi harus berbasis data dan indikator yang jelas. Aceh tidak bisa dihakimi hanya melalui asumsi,” kata Sofyan kepada media dialeksis.com, Sabtu, 15 November 2025.

Menurutnya, penggunaan dana sekitar Rp100 triliun selama dua dekade harus dilihat dalam konteks desain kebijakan yang ada, bukan hanya kinerja pemerintah daerah.

Sofyan mengungkap tiga persoalan utama yang membuat Otsus tidak berjalan maksimal yaitu desain fiskal yang tidak mendorong kemandirian ekonomi. Benturan kewenangan Aceh dengan berbagai UU sektoral dan kapasitas kelembagaan yang lemah akibat warisan konflik.

Ia menilai bahwa ketiga persoalan ini menunjukkan Otsus Aceh bukan semata persoalan manajemen lokal, tetapi juga kegagalan desain kebijakan di tingkat nasional.

Sofyan mengingatkan bahwa evaluasi Otsus harus melibatkan pemerintah pusat secara penuh. Menurutnya, Aceh tidak bisa menjadi satu-satunya pihak yang dianggap gagal.

Ia menyoroti beberapa faktor yang justru berada di ranah pemerintah pusat yaitu ketidakkonsistenan menjalankan poin-poin MoU Helsinki, lambatnya regulasi turunan UUPA, tumpang tindih aturan sektoral yang menggerus kewenangan Aceh dan tidak adanya baseline indikator yang disepakati Aceh-Jakarta.

“Tanpa indikator yang sama, bagaimana kita bisa mengukur keberhasilan? Evaluasi apa pun akan menjadi tidak ilmiah,” ujarnya.

Sofyan juga menanggapi pernyataan yang menyebut agar Aceh tidak selalu mengaitkan segala persoalan dengan MoU Helsinki. Ia menilai pandangan itu keliru secara konsep.

Menurutnya, mengabaikan MoU Helsinki sama saja dengan mengabaikan dasar hukum yang mengatur otonomi Aceh.

“Helsinki adalah fondasi lahirnya Otsus dan UUPA. Mengingatkannya bukan nostalgia, tapi menjaga dasar hubungan Aceh-Jakarta tetap konsisten,” tegasnya.

Sofyan menilai revisi UUPA harus menghasilkan perubahan mendasar, bukan sekadar tambal-sulam. Ia mengusulkan untuk mengubah skemanya menjadi incentive-driven allocation agar mendorong kemandirian ekonomi.

Selain itu, membentuk lex specialis harmonization unit untuk mencegah Qanun kembali dibatalkan dan lembaga khusus di bawah Presiden yang memastikan pelaksanaan Otsus berjalan efektif dan bebas distorsi politik.

“Kritik diperlukan, tetapi harus mendorong perbaikan desain kebijakan. Jika ingin 20 tahun ke depan lebih baik, maka evaluasinya harus adil dan objektif,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI