Minggu, 07 Desember 2025
Beranda / Sosok Kita / Mualem: dari Panglima Operasi Hingga Komandan Bencana Hidrometeorologi

Mualem: dari Panglima Operasi Hingga Komandan Bencana Hidrometeorologi

Sabtu, 06 Desember 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Mualem. Foto: Humas Pemerintah Aceh 


DIALEKSIS.CO | Banda Aceh - Mengomando pasukan bukan perkara baru bagi Muzakir Manaf. Hampir seperempat abad lelaki yang akrab disapa Mualem itu memimpin barisan, sejak ia dipercaya menggantikan Allahyarham Tgk. Abdullah Syafi’i sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka pada 2002, masa ketika Aceh masih bergolak dan dentuman senjata menjadi bahasa sehari-hari di pedalaman.

Ketika GAM bertransformasi menjadi Partai Aceh setelah penandatanganan MoU Helsinki 2005, kursi komando tetap berada di tangannya. Dari panglima perang hingga ketua partai politik terbesar di Aceh, figur Mualem tak pernah benar-benar lepas dari medan. Ia memimpin pasukan yang dulu bersenjata, lalu pasukan politik yang meraih kursi terbanyak di parlemen Aceh sejak 2009.

Kini, di tahun pertamanya sebagai Gubernur Aceh, komando itu kembali diuji. Bencana hidrometeorologi paling parah sejak pasca tsunami 2004 melanda Aceh, 18 kabupaten/kota terdampak. Dari pantauan data Penanggulangan Bencana Alam Hidrometeorologi di Posko Terpadu Pemerintah Aceh sampai 5 Desember 2025, korban meninggal dunia sudah mencapai di angka 349 orang dan hilang sebanyak 92 orang.

Akses darat ke wilayah timur utara dan tengah tenggara terputus total oleh longsor dan karamnya jembatan, listrik tumbang di hampir semua daerah, sementara jaringan komunikasi di banyak titik gelap total.

Dalam kekacauan itu, Mualem kembali turun sebagai “jenderal lapangan”.

Ia memusatkan koordinasi dengan Forkopimda Aceh, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, hingga Kementerian terkait untuk mempercepat suplai logistik. Pemerintah Aceh mendata lebih dari 1.500 ton beras, 600 ribu liter air bersih, dan ribuan paket makanan harus segera didorong ke kantong-kantong pengungsian, terutama di Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, wilayah yang terisolir akibat ambruknya jembatan dan jalan provinsi.

Di beberapa kesempatan, Mualem terlihat berada di kabin pesawat perintis Twin Otter yang dipenuhi karung beras dan paket makanan. “Kita tidak boleh menunggu jalur darat terbuka, semua upaya harus dilakukan agar bantuan segera sampai", menurut laporan staf di lapangan.

Di Aceh Tamiang, ia membagikan bantuan sejak dini hari hingga menjelang subuh. Kesaksian relawan menyebut, sepanjang malam Mualem mendatangi posko-posko kecil yang hanya diterangi oleh bulan purnama.

Kepada masyarakat, ia menyerukan ketabahan. “Berat memang, tapi Allah tidak menguji hamba-Nya di luar batas kesanggupannya,” ujarnya lirih.

Arahan lebih keras ia tujukan kepada para bupati. “Ini bukan waktunya cengeng,” katanya tegas menguatkan. “Masyarakat berharap kepada kita. Mereka butuh kehadiran pemimpin, bukan alasan.”

Ia juga mengingatkan para pedagang agar tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Satgas pangan mencatat ada kecenderungan lonjakan harga kebutuhan pokok, termasuk langkanya gas elpiji. Mualem berulang kali menegaskan, “Jangan siksa rakyat yang sedang berduka.”

Namun ujian sebenarnya bagi kepemimpinan Mualem justru menanti setelah masa tanggap darurat berakhir. Beberapa tim teknis Pemerintah memperkirakan kerusakan infrastruktur mencapai angka awal lebih dari Rp 3 triliun, mulai dari jalan nasional yang putus di Lintas Tengah, jembatan yang rusak, tanggul jebol, fasilitas publik rusak, hingga lebih dari ribuan rumah yang harus diperbaiki atau dibangun kembali.

Untuk itu, sinergi dengan pemerintah pusat menjadi kunci. Tanpa dukungan anggaran besar dari APBN, pemulihan Aceh akan berjalan panjang.

Bagi Mualem, yang terbiasa memimpin langsung dari medan, tahap ini mungkin lebih berat dari perang. Medannya bukan lagi hutan rimba dan pos-pos militer, melainkan birokrasi Jakarta, negosiasi anggaran, dan konsolidasi teknis lintas kementerian.

Tapi satu hal yang tidak berubah, Ia tetap memilih berdiri di garis depan. Bukan di balik meja.[]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI