Jum`at, 21 November 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Penggunaan Dana Desa Belum Efektif Tekan Kemiskinan, Aceh Didorong Reformasi Menyeluruh Tata Kelola

Penggunaan Dana Desa Belum Efektif Tekan Kemiskinan, Aceh Didorong Reformasi Menyeluruh Tata Kelola

Kamis, 20 November 2025 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II Angkatan XXIV tahun 2025 di Lembaga Administrasi Negara Aceh, Kamis 20 November 2025. Foto: Humas pemerintah Aceh 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketimpangan ekonomi antarwilayah yang terus melebar akibat belum optimalnya penggunaan dana desa menjadi sorotan dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II Angkatan XXIV tahun 2025 di Lembaga Administrasi Negara Aceh, Kamis 20 November 2025. 

Dalam paparan Policy Brief terkait Optimalisasi Pengelolaan Dana Desa dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi oleh kelompok 3, terungkap bahwa peningkatan anggaran dana desa setiap tahun belum berbanding lurus dengan turunnya angka kemiskinan maupun meningkatnya kemandirian ekonomi desa.

Dalam presentasi yang disampaikan oleh pembicara kelompok 3, Yafet Krismatius Buulolo, dijelaskan bahwa persoalan utama tidak hanya terletak pada besarnya dana, tetapi juga pada tata kelola dan orientasi penggunaan dana di tingkat desa. Banyak alokasi anggaran yang masih terserap untuk kegiatan jangka pendek sehingga tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi yang berkelanjutan.

“Dana desa ini besar, tetapi dampaknya belum terasa kuat di masyarakat. Masalahnya bukan pada jumlah, melainkan pada bagaimana dana itu dikelola. Jika tata kelolanya tidak berubah, desa akan tetap miskin meskipun anggarannya meningkat setiap tahun,” ujar Yafet.

Yafet memaparkan bahwa kelompoknya mengidentifikasi sejumlah persoalan utama, seperti belanja desa yang belum berpihak pada kegiatan produktif, lemahnya transparansi, proses penyaluran yang berlapis sehingga memperlambat pelaksanaan program, serta rendahnya kapasitas aparatur desa dalam mengelola anggaran dan mengembangkan peluang ekonomi. Selain itu, ketergantungan pada proses manual serta kurangnya integrasi data membuat pengawasan dan akuntabilitas belum berjalan optimal.

Persoalan tersebut berdampak pada stagnasi pertumbuhan ekonomi desa dan ketimpangan antarwilayah, sementara target nasional pengurangan kemiskinan sulit tercapai. Desa juga menjadi semakin rentan karena tidak memiliki cadangan ekonomi yang cukup ketika transfer dana pusat terganggu.

Untuk menjawab kondisi tersebut, Kelompok 3 memberikan rekomendasi reformasi berbasis empat pilar, yaitu pembenahan regulasi anggaran desa, digitalisasi tata kelola, penguatan kapasitas aparatur desa, serta pemberian insentif berbasis kinerja. Rekomendasi ini dinilai dapat mendorong desa menggunakan anggaran secara lebih produktif dan berorientasi jangka panjang.

“Kami berharap rekomendasi ini dapat menjadi masukan dalam penyempurnaan kebijakan dana desa sehingga benar-benar mampu mengurangi ketimpangan, menurunkan kemiskinan, dan mendorong kemandirian desa,” kata Yafet.

Paparan tersebut mendapat tanggapan dari Direktur Fasilitasi Pemanfaatan Dana Desa Kemendes PDTT, Friendy P. Sihotang. Ia menilai pemetaan masalah yang dilakukan Kelompok 3 sudah tepat dan menggambarkan kondisi lapangan secara nyata.

“Peta masalahnya sudah jelas. Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah konkret yang bisa langsung dijalankan. Desa tidak boleh bergantung selamanya pada transfer dana pusat. Mereka harus tumbuh dari potensi sendiri, dan itu hanya tercapai bila tata kelolanya dibenahi,” ujar Friendy.

Friendy menekankan pentingnya penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), peningkatan kapasitas manajerial, serta digitalisasi layanan publik desa sebagai strategi jangka panjang pembangunan ekonomi desa.

Penanggap kedua, Edi Fadhil dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Aceh, menyoroti lemahnya keberpihakan anggaran desa terhadap sektor pemberdayaan ekonomi. Menurutnya, porsi belanja desa masih terlalu berat pada pembangunan fisik sehingga ruang bagi pengembangan ekonomi kreatif, unit usaha desa, dan peningkatan kapasitas masyarakat menjadi sangat terbatas.

“Selama ini dana desa terlalu banyak habis untuk pembangunan fisik. Sementara program pemberdayaan yang memberi dampak ekonomi jangka panjang sangat kecil porsinya. Kalau desa ingin maju, keberpihakan anggaran pada sisi ekonomi harus diperkuat,” ujarnya.

Edi mencontohkan bahwa pemerintah memiliki sejumlah program besar yang seharusnya bisa dikelola atau dikuatkan melalui desa dan BUMDes, seperti program makan bergizi gratis atau MBG, koperasi merah putih, hingga jaringan pertashop yang semestinya menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat.

“Ada banyak potensi besar, tetapi tidak dikelola desa. Program MBG, koperasi merah putih, bahkan pertashop, pada praktiknya banyak yang dikelola pihak lain. Seharusnya desa bisa mengambil peran karena itu menyangkut kemandirian ekonomi,” kata Edi Fadhil.

Edi Fadhil menegaskan pentingnya pendampingan lintas lembaga agar desa tidak hanya mengelola dana, tetapi mampu memetakan potensi, mengembangkan usaha desa, dan menjadi bagian dari rantai ekonomi yang lebih besar.

Kelompok 3 yang menyusun kajian ini terdiri dari para peserta PKN dari berbagai instansi pusat dan daerah, yaitu Galih Priya Kartika Perdhana, Restu Andi Surya, Medi Oktafiansyah, Yafet Krismatius Buulolo, Muhammad Reza Pahlevi Nasution, Akkar Arafat, Husnan, Husensah, Rahwadi, Bayu Irsahara, Jepri Ginting, Najarudin Safaat, Pujiono Slamet, Novly Tenlie Nelson Momongan, Wahyu Indarto, Akhmad Zaenal Fikri, I Wayan Putu Sutresna, Kurniawan Wowondos, dan Sujatmiko. Kelompok ini dibimbing oleh Dra. Arfah Salwah, M. Si

Pembimbing dari Pelatihan Kepemimpinan Nasional tersebut, Dra. Arfah Salwah, M. Si menyebutkan, ada 62 peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II Angkatan XXIV tahun 2025. Mereka diharapkan menjadi pemimpin perubahan utamanya di instansi masing-masing. 

Arfah menyebutkan para para peserta yang terdiri dari tiga kelompok tersebut telah menggagas ide perubahan yang diharapakan bisa meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat sehingga tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah ikut meningkat.

Arfah menyebutkan, dari hasil kajian tiga kelompok itu, lahir rekomendasi yang diharapkan bisa ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan baik di tingkat provinsi hingga nasional. 

"Tentu menjadi input atau masukan yang sangat bagus untuk pengambilan kebijakan," katanya. []

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI