DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Ikatan Keluarga Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Syiah Kuala (IKA IP USK), T. Auliya Rahman, mempertanyakan kapasitas Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang tidak serius mengatasi persoalan listrik di Aceh yang belum kunjung pulih hampir satu bulan pasca banjir.
Menurutnya, terdapat sejumlah kejanggalan yang perlu dijelaskan secara terbuka oleh pihak terkait, khususnya PT PLN.
“Kalau kita melihat skala dan durasi gangguan listrik yang terjadi pascabanjir ini, rasanya sulit diterima jika semuanya dianggap normal. Ada wilayah yang banjirnya sudah surut, tapi listrik belum juga pulih secara stabil. Ini memunculkan kecurigaan publik yang wajar,” ujar Auliya Rahman kepada wartawan Dialeksis.com, Senin, 15 Desember 2025.
Ia mengatakan bahwa masyarakat Aceh saat ini berada dalam kondisi sangat rentan. Banjir tidak hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi, layanan pendidikan, hingga fasilitas kesehatan. Dalam situasi seperti itu, listrik menjadi kebutuhan dasar yang tidak bisa ditawar.
“Bayangkan masyarakat yang baru saja terdampak banjir, kehilangan harta benda, lalu masih harus hidup dalam gelap. UMKM tidak bisa beroperasi, anak-anak kesulitan belajar, layanan kesehatan terganggu. Ini bukan persoalan sepele,” katanya.
Auliya menyinggung pernyataan dan klarifikasi dari PLN yang menyebut gangguan listrik disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat banjir dan cuaca ekstrem.
Menurutnya, penjelasan tersebut belum cukup menjawab keresahan publik, apalagi jika tidak disertai dengan data teknis yang transparan dan target pemulihan yang jelas.
“PLN harus membuka secara rinci: di mana saja titik kerusakan, apa penyebab utamanya, dan kapan setiap wilayah akan pulih. Jangan hanya menyampaikan narasi umum. Publik berhak tahu,” tegasnya.
Lebih jauh, Auliya mengingatkan bahwa persoalan kelistrikan di Aceh bukanlah isu baru. Dalam beberapa tahun terakhir, gangguan listrik kerap terjadi, bahkan di luar kondisi bencana.
Karena itu, ia mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem kelistrikan di Aceh, termasuk kesiapan infrastruktur menghadapi bencana alam.
“Kita hidup di wilayah rawan bencana. Seharusnya sistem kelistrikan dirancang dengan mitigasi risiko yang kuat. Kalau setiap banjir atau hujan deras selalu berujung pemadaman massal, berarti ada masalah serius dalam perencanaan dan pengelolaan,” ujarnya.
Sebagai alumni dan pemerhati tata kelola pemerintahan, Auliya juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk tidak lepas tangan.
Menurutnya, krisis listrik pascabanjir harus dipandang sebagai isu pelayanan publik yang mendesak, bukan sekadar urusan teknis korporasi.
“Pemerintah daerah harus aktif menekan dan mengawal PLN agar bekerja maksimal. Pemerintah pusat pun perlu turun tangan, karena ini menyangkut hak dasar warga negara,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar jangan sampai penderitaan rakyat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Transparansi dan akuntabilitas, kata Auliya, menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik di tengah situasi krisis.
“Kalau semua dibuka secara jujur dan profesional, masyarakat bisa memahami. Tapi jika informasi ditutup-tutupi, kecurigaan akan terus tumbuh. Ini yang harus dihindari,” pungkasnya.