DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Aceh mengkritisi lambannya langkah strategis pemerintah dalam merespons bencana banjir dan tanah longsor berskala besar yang melanda sejumlah wilayah di Aceh.
Bencana yang telah melumpuhkan akses wilayah dan menelan korban jiwa itu dinilai membutuhkan penanganan luar biasa, bukan prosedur biasa.
Kepala Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda (PTKP), Badko HMI Aceh, T Muhammad Sandoya mengatakan pemerintah pusat tidak boleh mengabaikan urgensi penetapan status bencana nasional.
Namun, apabila keputusan tersebut tidak diambil, pemerintah diminta segera melakukan revolusi birokrasi guna membuka akses bantuan internasional.
“Kondisi Aceh hari ini sangat mendesak. Jika pemerintah pusat tidak menetapkan status bencana nasional, maka satu-satunya langkah logis adalah merevolusi mekanisme birokrasi agar bantuan internasional dapat masuk dengan cepat,” tegas Kabid PTKP Badko HMI Aceh, T Muhammad Shandoya, kepada media dialeksis.com, Sabtu, 13 Desember 2025.
Menurut Shandoya, prosedur administrasi yang berbelit justru menjadi penghambat utama masuknya bantuan kemanusiaan internasional.
Padahal, dalam situasi darurat seperti saat ini, Aceh membutuhkan dukungan teknis, logistik, dan peralatan penyelamatan yang memadai, terutama di wilayah-wilayah yang masih terisolasi akibat akses darat terputus.
Badko HMI Aceh menekankan bahwa pemerintah tidak harus menetapkan status bencana nasional untuk menerima bantuan internasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bantuan internasional dapat diterima ketika kapasitas nasional tidak mencukupi, tanpa mensyaratkan penetapan bencana nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008, Presiden memiliki kewenangan penuh untuk mengizinkan keterlibatan lembaga internasional melalui Keputusan Presiden (Keppres). Preseden hukum sebelumnya juga menunjukkan bahwa pemerintah pernah membuka bantuan internasional tanpa penetapan bencana nasional, seperti pada Gempa Lombok dan Tsunami Palu.
“Birokrasi normal tidak bisa dipakai pada situasi abnormal. Keterlambatan beberapa jam saja bisa berakibat fatal. Ini bukan soal kepentingan politik, tapi soal nyawa manusia,” tegasnya.
Badko HMI Aceh juga mengingatkan bahwa lambannya respons pada fase tanggap darurat akan berdampak panjang terhadap proses pemulihan. Jika penanganan awal tidak maksimal, maka tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi dikhawatirkan akan memakan waktu jauh lebih lama.
“Recovery Aceh akan sangat panjang jika tanggap daruratnya lemah. Pemerintah pusat harus membaca kondisi ini sebagai sinyal untuk mempercepat pengambilan keputusan,” ungkap Shandoya.
Lebih lanjut, Badko HMI Aceh menepis anggapan bahwa keterlibatan lembaga internasional dapat mengganggu kedaulatan negara.
Menurutnya, bantuan internasional justru akan menjadi kekuatan tambahan yang memperkuat kerja BNPB, Basarnas, TNI, Polri, serta relawan lokal yang saat ini sudah bekerja di batas kemampuan mereka.
“Kami tidak meminta penanganan diserahkan kepada pihak asing. Kami hanya meminta ruang dukungan global dibuka demi keselamatan warga Aceh. Ini wajar, legal, dan sangat mendesak,” katanya.
Atas dasar itu, Badko HMI Aceh menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah pusat, antara lain mempercepat revolusi birokrasi untuk izin bantuan internasional, menghapus hambatan administratif dalam situasi darurat, menjadikan keselamatan warga Aceh sebagai prioritas nasional, serta memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
“Rakyat Aceh membutuhkan tindakan cepat, bukan diskusi panjang. Pemerintah harus segera bergerak. Jika tidak, dampaknya akan ditanggung Aceh dalam jangka panjang,” tutup Shandoya.