DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Murthalamuddin, S.Pd., MSP, mengatakan pentingnya penyusunan bahan ajar muatan lokal yang seragam, terukur, dan berakar kuat pada kearifan lokal Aceh.
Hal itu ia sampaikan dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh dengan tema Taklimat Media dan Peluncuran Produk Buku Tahun 2025 di Banda Aceh, Rabu (19/11/2025).
Dalam forum tersebut, Murthalamuddin mengkritisi pola pembelajaran muatan lokal selama ini yang dinilai belum memiliki standar penilaian yang jelas. Ia menggambarkan situasi di mana setiap pihak memilih fokus dan metodenya sendiri tanpa arah evaluasi yang terukur.
Ia juga mendorong penguatan kurikulum muatan lokal, yang menyoroti urgensi pelestarian bahasa, budaya, dan sejarah daerah di tengah derasnya arus modernisasi.
"Masing-masing memilih bakat sendiri. Lalu ketika saya tanya bagaimana mengevaluasi pembelajaran itu, tidak ada jawaban yang jelas,”* ujar Murthalamuddin.
Sebagai seseorang yang sejak kecil mencintai bacaan dan tumbuh dalam keluarga guru, Murthalamuddin mengaku memiliki keprihatinan mendalam terhadap ancaman hilangnya bahasa dan identitas daerah.
"Kita tidak boleh kehilangan bahasa ibu. Bahasa itu identitas. Kalau kita kehilangan, kita akan kehilangan sebagian dari diri kita," tegasnya.
Ia mencontohkan video yang menampilkan keunikan bahasa Gayo dan Simeulue yang menurutnya menunjukkan betapa kayanya khazanah bahasa Aceh. Namun kekayaan ini justru terancam punah jika tidak diintegrasikan ke dalam bahan ajar sekolah.
Murthalamuddin menekankan bahwa bahan ajar muatan lokal harus bersifat kontekstual, berisi cerita adat, budaya, sejarah lokal, dan nilai kepahlawanan yang dekat dengan kehidupan masyarakat setempat.
Dalam pemaparannya, Plt. Kadisdik Aceh juga menyinggung pengalamannya saat mengunjungi Eropa. Menurutnya, masyarakat di sana mampu menjadikan kejadian kecil sekalipun sebagai monumen sejarah dan objek wisata.
"Di Eropa, peristiwa kecil bisa jadi museum dan ramai dikunjungi. Kita harusnya mampu mengeksplorasi kearifan lokal untuk menjadi kekuatan pendidikan dan kebudayaan,” ungkapnya.
Murthalamuddin juga menyoroti lemahnya pengetahuan sejarah lokal di kalangan pelajar. Ia mencontohkan pengalamannya saat melakukan kunjungan ke Aceh Tengah dan berdialog dengan beberapa siswa di sebuah sekolah.
Saat itu, ia bertanya mengenai asal-usul penamaan Rumah Sakit Datu Beru, salah satu fasilitas kesehatan penting di daerah tersebut yang mengambil nama dari sosok pahlawan perempuan Gayo. Namun, dari seluruh siswa yang ia tanya, tidak satu pun yang mengetahui sejarah atau latar belakang nama tersebut.
Temuan sederhana ini, menurutnya, menjadi bukti nyata bahwa literasi sejarah lokal di sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya.
Murthalamuddin menilai, banyak nama tempat, tokoh, dan simbol-simbol lokal di Aceh yang memiliki nilai sejarah besar, namun perlahan kehilangan makna karena tidak dikenalkan kepada generasi muda melalui pendidikan formal.
“Ini sangat disayangkan. Rumah Sakit Datu Beru adalah simbol perjuangan dan ketokohan dalam sejarah masyarakat Gayo, tapi anak-anak kita tidak mengetahuinya,” ujarnya.
Ia menegaskan perlunya penguatan kurikulum muatan lokal yang berisi sejarah, kearifan lokal, dan narasi budaya yang relevan dengan kehidupan masyarakat setempat.
Menurutnya, jika pengetahuan dasar seperti ini saja sudah tidak lagi dikenal, maka identitas budaya dan sejarah Aceh dapat semakin tergerus oleh arus modernisasi.
"Kasus ini menjadi contoh konkret betapa pentingnya memperkuat identitas lokal dalam setiap aspek, termasuk pendidikan," tutupnya. [nh]