Kamis, 20 November 2025
Beranda / Opini / Norma Fundamental Negara vis a vis Norma MoU Helsinki

Norma Fundamental Negara vis a vis Norma MoU Helsinki

Rabu, 19 November 2025 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Ridwansyah

Muhammad Ridwansyah, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien. [Foto: Dokpri]


DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel ini respon atas pernyataan Dr. Benny K. Harman saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pernyataan beliau sebenarnya memberikan opsi kepada Pemerintah dan DPRA atas pilihan-pilihan revisi UUPA ke depan. 

Namun penulis akan melihat cara pandang yang berbeda, yang agak filosofis sehingga kita memahami bagaimana norma fundamental negara dihadapkan dengan norma MoU Helsinki sebagai norma bangsa Aceh. 

Norma fundamental negara disebut juga sebagai norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama dalam hierarki norma hukum negara adalah staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) ini pernah diterjemahkan oleh Notonagoro seorang ahli pemikiran filsafat Pancasila dan sebagai guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menerapkan bahwa norma fundamental negara diistilahkan sebagai pokok kaidah fundamental negara. Pemahaman Notonagoro dalam pemikirannya bahwa Pancasila secara ilmiah ialah dasar negara yang mutlak dan objektif melekat pada kelangsungan negara, tidak bisa diubah dengan jalan hukum. Artinya Pancasila adalah nilai vital, nilai material dan nilai kerohanian bangsa Indonesia. 

Norma fundamental negara ini diartikan oleh Joeniarto, dalam bukunya yang berjudul dalam Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia sebagai istilah norma pertama. Sedangkan Hamid. S. Attamimi menyebutkan istilah staatsfundamentalnorm itu sebagai norma fundamental negara. Penjelasan mengenai norma fundamental negara merupakan norma tertinggi dalam suatu negara ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum dibawahnya. Norma yang tertinggi ini dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karenanya jika norma yang tertinggi itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan norma yang tertinggi. Dalam kasus penyelenggaraan Pemerintah Aceh, bahwa konstitusi sebagai landasan norma tertinggi untuk membentuk UUD NRI 1945 sebagai pengaturan dasar pokok negara.

 Pemahaman norma fundamental negara oleh Hans Nawiasky menerangkan bahwa norma yang merupakan dasar bagi pembentukam konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara dan termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum norma fundamental negara adalah syarat sebagai berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmit merupakan keputusan atau consensus bersama tentang sifat dan bentuk kesatuan politik yang disepakati oleh suatu bangsa. Sisi lain dari itu bahwa penggunaan norma dasar atau grundnorm, ursprungsnorm atau urnorm sebagaimana disebutkan bersifat pre-supposed dan tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dasar berlakunya, sehingga kita perlu menerimanya sebagai sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan lagi, sebagai suatu hipotesa, sesuatu yang fiktif, suatu aksioma. Hal ini dikarenakan untuk tidak menggoyahkan lapis-lapis bangunan tata hukum yang pada akhirnya menggantungkan atau mendasarkan diri kepadanya. Pengaturan suatu negara norma dasar itu disebut sebagai staatsfundamentalnorm

Staastfundamentalnorm menjelaskan bahwa suatu negeri merupakan landasaran dasar filosofisnya yang mengandung kaidah-kadiah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut. Berdasarkan pemahaman tersebut menerangkan bahwa terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky.

Lalu relevankah Mou Helsinki dengan norma tertinggi negara? Pada dasarnya sangat relevan karena pembentukan Pancasila adalah konsensus antara kesepakatan anak bangsa dan MoU Helsinki juga demikian kesepakatan dua anak bangsa yakni bangsa Indonesia dengan bangsa Aceh walaupun konteksnya berbeda, Pancasila disepakati sebagai dasar negara bangsa Indonesia, sedangkan MoU Helsinki sebagai dasar menjalankan bangsa Aceh dan bangsa Indonesia untuk menyatu dalam bingkai UUD NRI 1945. MoU Helsinki diwajibkan tunduk, dalam bingkai NKRI namun klausul-klausul MoU Helsinki wajib diimplementasikan jika tidak maka rumusan-rumusan yang ada dalam klausul MoU Helsinki tidak berfungsi.

MoU Helsinki adalah du contract social (perjanjian kontrak sosia) yang disepakati oleh tiga entitas yakni GAM, Pemerintah Indonesia dan CMI. Maka subtansi nya sebenarnya sebagai payung untuk menjalankan Aceh sebagai wilayah yang berbeda dengan daerah yang ada dibawah kekuasaan Pemerintah Pusat. Lalu sejauh mana MoU Helsinki sebagai norma fundamental bangsa Aceh?

Secara historis misalnya, dalam Sofyan Djalil selaku Menteri Komunikasi dan Informastika masa jabatan 2004-2007 dan sekaligus tim juru runding delegasi Pemerintah Indonesia 2005. Beliau mengutakan dalam risalah rapat panitia khusus DPR RI RUU PA pada tanggal 24 Februari 2006 diruangan rapat di Komisi II DPR RI sebagai berikut:

Dalam sebuah rapat, Sofyan Djalin menegaskan kembali penjelasan bapak Menteri Dalam Negeri tadi (rapat risalah pada tahun 2005) merupakan penjelasan Pemerintah terhadap RUU Pemerintahan Aceh sudah sangat komprehensif. Beliau pikir dalam pembicaraan di Helsinki, apa yang kemudian timbul perlunya sebuah undang-undang yang baru yang merupakan pengganti terhadap UU No. 18 Tahun 2001 sebenarnya karena latar belakangnya adalah waktu itu kita datang ke Helsinki, sikap dan posisi Pemerintah adalah sangat jelas yaitu GAM menerima Undang-Undang Nomor 18, Undang- Undang Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian GAM bubar dan mereka menerima Undang-Undang Otonomi Khusus.

Sedangkan posisi GAM pada waktu perundingan yaitu pada kutub lain. Tidak ada posisi GAM yang kecuali lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Aceh mereka tuntut merdeka. Dua posisi yang begitu saling bertolak belakang kemudian dengan sabar dan intensif dibahas dengan penuh kepercayaan dan prinsip mencari penyelesaian masalah aceh secara damai dan bermartabat, akhirnya terjadi perubahan posisi yang sangat subtansial. Perubahan subtansi yang ia maksudkan yaitu GAM menerima NKRI, menerima UUD NRI 1945 kemudian setuju menyelesaikan masalah Aceh secara damai, permanen, bermartabat dalam konteks NKRI. Kemudian karena mereka mengatakan bahwa kita waktu itu meminta supaya masalah Aceh karena undang-undang sudah ada di Aceh yaitu Undang-Undang Nomor 18 maka undang-undang ini kita berlakukan. 

Pembicaraan disana adalah kemudian mereka mengatakan kalau kami menangkap dan menerima Undang-Undang Nomor 18 berarti posisi pemerintah yang sepenuhnya kami terima karena mereka mengatakan kami telah menyeberang, kami telah merubah posisi sepenuhnya, tidak lagi menuntut merdeka, tidak menuntut lagi referendum, tidak menuntut apapun sebenarnya tidak diterima oleh Pemerintah Indonesia, kami terima NKRI, kami terima UUD NRI 1945, kita selesaikan masalah secara damai, demokratis berdasarkan prinsip-prinsip yang diajukan oleh Pemerintah. Oleh sebab itu mereka menuntut bahwa ada perubahan atau pergantian dari undang-undang yang ada. Waktu itu persoalannya adalah apakah merevisi Undang-Undang Nomor 18 atau mengganti?

Dalam perdebatan antara delegasi Indonesia dengan GAM subtansinya sama tapi mereka mengatakan bahwa kalau merevisi ini masalah psikologis. Oleh sebab itu akhirnya kalau kita lihat misal MoU sebenarnya adalah undang-undang otonomi khusus dengan ditambah beberapa prinsip-prinsip yang mereka minta. Prinsip yang mereka minta yaitu adanya partai politik lokal. Mereka mengatakan bahwa partai lokal adalah bagian, mereka ingin berpartisipasi dalam proses politik di Aceh, sehingga proses pemerintahan di Aceh dapat berjalan secara lebih baik dan mereka dapat mengaktualisasikan kepentingan dan aspirasi politik didalam pengelolaan pemerintahan Aceh. 

Kemudian mereka meminta misalnya bendera, tentang hymne tetapi dan itu sekalian permintaan tersebut yang awal mulanya kita catat semua kemudian kita konsultasikan dengan undang-undang yang ada. Akhirnya apa yang kemudian kita bisa memberikan pada prinsipnya telah ada pada undang-undang yang ada sebagaimana telah disampaikan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri tadi tentang misalnya bendera dari akomodasi sebelumnya, bendera yang bersifat nasional, hymne juga merupakan kekhususan yang bukan merupakan lambang daripada kedaulatan atau hymne bukan merupakan national enter.

Artinya tatanan MoU Helsinki melahirkan banyak aspek khidupan bagi rakyat Aceh, GAM salah satunya sebagai pelaku utama untuk membawa rakyat Aceh benar-benar menjadi Aceh itu sendiri. [**]

Penulis: Muhammad Ridwansyah (Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI