Selasa, 30 September 2025
Beranda / Opini / Dana Parpol Aceh: Investasi Demokrasi Lokal atau Cek Kosong Berisiko Tinggi?

Dana Parpol Aceh: Investasi Demokrasi Lokal atau Cek Kosong Berisiko Tinggi?

Selasa, 30 September 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nasrul Zaman

Ilustrasi: Dana Bantuan Politik Parpol-Radar Utara/Arie Ade Putra-


DIALEKSIS.COM | Opini - Gedung-gedung parlemen dan kantor-kantor partai politik seringkali berdiri sebagai monumen bisu dari sebuah ironi besar dalam demokrasi kita: institusi yang paling sentral dalam artikulasi kehendak rakyat justru menjadi salah satu yang paling tidak dipercayai oleh rakyat itu sendiri. 

Di tengah defisit kepercayaan yang kronis inilah, Pemerintah Aceh melempar sebuah batu besar ke kolam diskursus publik dengan menaikkan dana bantuan untuk partai politik (parpol) secara dramatis, dari Rp 2.000 menjadi Rp 10.000 per suara sah pada tahun 2025. Sontak, riak penolakan dan sinisme pun merebak.

Bagi sebagian besar publik, kenaikan lima kali lipat ini terasa seperti sebuah tamparan di tengah berbagai kesulitan ekonomi dan kebutuhan pembangunan yang lebih mendesak. Pertanyaannya terdengar nyaring dan sah: untuk apa menggelontorkan dana publik yang begitu besar kepada lembaga-lembaga yang, dalam memori kolektif bangsa selama lebih dari dua dekade pasca-reformasi, lebih sering tampil sebagai pialang kekuasaan ketimbang sebagai sekolah politik bagi warganya? Skeptisisme ini bukan tanpa dasar. Ia adalah buah pahit dari pengalaman panjang melihat parpol gagap dalam menjalankan fungsi esensialnya: pendidikan politik, agregasi kepentingan publik, dan rekrutmen kader yang berintegritas. Alih-alih menjadi kawah candradimuka bagi calon pemimpin, parpol lebih sering terperosok menjadi arena pertarungan faksi dan mesin elektoral yang hanya menyala lima tahun sekali.

Maka, ketika gagasan untuk membiayai parpol sepenuhnya oleh negara--sebuah ide yang pernah dilontarkan sebagai antitesis terhadap korupsi sistemik--diterjemahkan dalam bentuk kenaikan dana bantuan yang fantastis di Aceh, wajar jika publik mengernyitkan dahi. Tanpa adanya perubahan fundamental dalam perilaku dan tata kelola parpol, penambahan dana ini dikhawatirkan hanya akan menjadi bensin yang disiramkan ke dalam mesin tua yang rusak: alih-alih membuatnya berjalan lebih baik, ia justru berisiko memicu kebakaran baru dalam bentuk penyalahgunaan anggaran dan pemborosan yang tidak relevan dengan kepentingan rakyat.

 

Anomali Aceh: Keadilan Finansial untuk Partai Lokal

Namun, menenggelamkan isu ini dalam lautan sinisme semata adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya, terutama ketika kita berbicara dalam konteks keistimewaan Aceh. Di sinilah letak argumen tandingan yang paling kuat dan harus dipertimbangkan secara saksama. Aceh, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki partai politik lokal (parlok). Keberadaan parlok ini bukan sekadar aksesoris politik, melainkan jantung dari kekhususan Aceh yang lahir dari rahim perjanjian damai MoU Helsinki. Parlok adalah kanal utama bagi artikulasi aspirasi politik yang berakar pada sejarah, budaya, dan kepentingan lokal yang tidak selalu terwakili secara utuh oleh partai politik nasional (parnas).

Di sinilah letak ketidakadilan struktural dalam sistem pembiayaan sebelumnya. Parnas yang beroperasi di Aceh menikmati "subsidi ganda": mereka menerima aliran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan melalui dewan pimpinan pusat mereka di Jakarta, sekaligus menerima bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Sementara itu, parlok, yang napas dan hidupnya murni diabdikan untuk politik lokal Aceh, hanya bergantung pada satu sumber: APBA.

Dari perspektif ini, angka Rp 2.000 per suara adalah sebuah ketimpangan yang nyata. Ia menciptakan sebuah arena pertarungan yang tidak setara, di mana parnas memiliki daya tahan finansial yang jauh lebih superior dibandingkan parlok. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengancam eksistensi dan daya saing parlok, yang pada gilirannya akan menggerus esensi dari kekhususan politik Aceh itu sendiri. Oleh karena itu, kenaikan menjadi Rp 10.000 per suara dapat dibaca sebagai sebuah langkah afirmatif yang krusial. Ini adalah upaya untuk menyeimbangkan neraca, untuk memberikan parlok suntikan sumber daya yang memadai agar mereka mampu berdiri sejajar dengan parnas, mampu membangun organisasi yang solid, dan yang terpenting, mampu menjalankan fungsi pendidikan politik bagi konstituennya secara mandiri tanpa harus "mengemis" ke Jakarta. Dalam kerangka ini, angka Rp 10.000 menjadi wajar, bahkan bisa dibilang sebagai syarat minimum bagi keberlangsungan demokrasi lokal yang sehat di Aceh.

 

Dari Cek Kosong Menjadi Kontrak Kinerja Demokrasi

Meskipun demikian, justifikasi berbasis keadilan finansial untuk parlok ini tidak boleh menjadi sebuah cek kosong yang bisa diuangkan tanpa pertanggungjawaban. Di sinilah letak tantangan terbesarnya. Kenaikan dana ini harus diikat dengan sebuah "kontrak kinerja demokrasi" yang tegas, transparan, dan mengikat bagi semua parpol penerima, baik lokal maupun nasional. Tanpa adanya mekanisme akuntabilitas yang ketat, dana besar ini hanya akan menguap sia-sia.

Apa saja klausul yang harus ada dalam kontrak ini? Pertama, transparansi radikal. Setiap parpol wajib mempublikasikan secara rinci dan berkala penggunaan dana bantuan ini di situs web resmi mereka dan di papan pengumuman publik. Laporan tidak boleh lagi hanya berupa rekapitulasi gelondongan, melainkan harus terperinci hingga ke level kegiatan: berapa yang dipakai untuk seminar kaderisasi, berapa untuk riset kebijakan, berapa untuk publikasi materi pendidikan politik, dan seterusnya. Publik harus bisa melacak setiap rupiah yang mereka berikan.

Kedua, alokasi yang diwajibkan. Peraturan Gubernur atau Qanun Aceh harus secara eksplisit mewajibkan bahwa persentase mayoritas dari dana bantuan ini--katakanlah minimal 60%--harus dialokasikan untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan pendidikan politik dan pemberdayaan konstituen. Ini untuk mencegah dana tersebut habis hanya untuk biaya operasional elitis seperti perjalanan dinas pengurus, renovasi kantor mewah, atau rapat-rapat seremonial tanpa hasil.

Ketiga, indikator kinerja yang terukur. Pemerintah Aceh dan lembaga pengawas seperti Bawaslu harus merumuskan Indikator Kinerja Utama (IKU) bagi parpol. Kinerja ini bisa diukur dari jumlah kader yang dilatih, frekuensi dialog publik yang diselenggarakan, jumlah usulan kebijakan berbasis riset yang diajukan ke DPRA, atau inovasi dalam metode pendidikan politik digital. Pencairan dana di tahun-tahun berikutnya harus bergantung pada pencapaian IKU ini. Parpol yang berkinerja buruk harus siap menerima sanksi pemotongan dana.

Pada akhirnya, kenaikan dana parpol di Aceh adalah sebuah pertaruhan besar. Ia bisa menjadi investasi paling strategis untuk mendewasakan demokrasi lokal, memperkuat kekhususan Aceh, dan melahirkan politisi-politisi yang lebih berkualitas. Namun, ia juga bisa menjadi preseden buruk pemborosan uang rakyat jika tidak dikawal dengan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang tanpa kompromi. Bola kini tidak hanya di tangan pemerintah, tetapi juga di tangan para pengurus parpol itu sendiri. Apakah mereka akan menggunakan dana ini untuk benar-benar "mencerdaskan kehidupan berpolitik" rakyat Aceh, atau hanya akan menggunakannya untuk memperkaya dan melanggengkan kekuasaan elite mereka? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan apakah Rp 10.000 per suara itu akan tercatat dalam sejarah sebagai investasi visioner atau sebagai sebuah ironi yang mahal.

 Penulis: Nasrul Zaman Pengamat Kebijakan Publik 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid