Senin, 17 November 2025
Beranda / Kolom / Menyeruput Kopi Gayo di Ujung “Kabel Rapuh”

Menyeruput Kopi Gayo di Ujung “Kabel Rapuh”

Minggu, 16 November 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nurdin Hasan

Nurdin Hasan ,Jurnalis Freelance. [Foto: Dokpri]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Sambil menyeruput pahitnya kopi Arabika Gayo, rakyat Aceh kembali harus tersenyum masam. Sejak Sabtu kemarin petang, mereka disuguhkan sebuah ironi paling menyebalkan. Mati listrik! Fenomena ini seolah sudah menjadi tradisi berjilid, kayak Drama Korea (Drakor).

Memang ada ungkapan yang amat satir, ”jika listrik mati di Aceh, itu tanda-tandanya sudah mau dekat puasa Ramadhan". Tapi, Ramadhan masih dua bulan lebih lagi. Dulu, orang harus waspada terhadap konflik dan sering tiang listrik ditumbangkan. Kini, rakyat Aceh harus waspada kepada komedi kegelapan yang terus diputar ulang.

Ini bukan sekadar mati lampu, tetapi drama berjilid-jilid. Kejadian kali ini, hampir sama dengan peristiwa, September lalu. Kala itu, hampir seluruh daratan Aceh mengalami pemadaman bergilir selama tiga hari. Warga menjerit, protes di Facebook dan grup WA. Mesin usaha rakyat berhenti. Padahal, sebelumnya sering muncul di media massa pernyataan penuh humor hitam dari pejabat PLN, "Aceh surplus daya listrik!"

Inilah paradoks PLN paling menyebalkan. Bagaimana mungkin sebuah daerah diklaim surplus daya, tapi layanannya lumpuh total berhari-hari? Semoga kasus kali ini cukup 20 jam saja. Klaim surplus daya, ibarat koki yang pamer punya banyak bahan makanan (kapasitas pembangkit), tapi lupa mengecek kabel gas kompornya (keandalan transmisi).

Fakta di lapangan jauh dari kata surplus dan mulus. Kepala Ombudsman Aceh, Dian Rubianty, pernah menyentil keras komunikasi PLN yang tertutup. Akar masalahnya ternyata bukan sekadar "penguatan sistem interkoneksi" (alasan formal yang sering dipakai), melainkan karena ada trip memalukan di Pembangkit Nagan 3 dan 4 -- pembangkit lokal yang menopang hampir separuh kebutuhan Aceh.

Sembari kita tersenyum kecut melihat lelucon manajemen PLN, dampaknya terasa pahit di meja ekonomi. Pada satu sisi, Kepala Pemerintahan Aceh gencar bersafari, sampai ke China dan Arab Saudi, mempromosikan "Aceh terbuka untuk investasi". Di sisi lain, setiap investor yang datang pasti akan bertanya: Bagaimana dengan jaminan listriknya? Bisa disimpulkan realitas ini dengan lugas: Kalau seperti ini terus, siapa yang mau berinvestasi di Aceh?

Kerugiannya pun dramatis, bahkan tragis. Akibat pemadaman berkepanjangan, September silam, dilaporkan bahwa 18 ribu ekor ayam ternak milik peternak di Abdya mati massal. Cerita 18 ribu ayam mati ini adalah epitaf menyedihkan bagi janji investasi. Ini simbol nyata bahwa kegagalan infrastruktur dasar bisa membatalkan semua insentif fiskal yang ditawarkan pemerintah Aceh.

Lalu, mengapa nanggroe bansa tseuneubeh ini begitu rentan? Jawabannya ada pada ”seutas kabel gantung", yang menghubung kita dengan Sumatera Utara (Sumut). Sistem interkoneksi listrik itu sangat fatal. Artinya, setiap kali ada masalah, gangguan, atau malah batuk pada sistem di Sumut, Aceh otomatis ikut kena flu -- bukan flu Singapore --  tapi gelap gulita.

Sudah saatnya Aceh mengakhiri sandiwara kegelapan ini. Kita punya landasan hukum (Otonomi Khusus/Otsus) dan potensi alam yang melimpah untuk membangun kedaulatan energi sendiri. Ingat, bukan membeli alasan dari luar. Aceh harus berani mengarahkan sebagian uang dari Otsus untuk investasi strategis, bukan sekadar tambal sulam jangka pendek seperti yang kerap terjadi selama ini.

Modal kita besar. Contohnya, potensi panas bumi (geothermal) Seulawah mencapai 190 MW. Ini adalah sumber pembangkit dasar yang sangat stabil. Lalu, PLTA Peusangan. Proyek terbesar di Aceh dengan kapasitas total 88 MW, siap menambah pasokan listrik bersih. Belum lagi potensi lain yang banyak tersedia.

Jika dikelola dengan serius, maka potensi energi bersih ini akan memutus ”kabel rapuh” Sumut dan menjamin kepastian bagi calon investor. Aceh harus menerapkan ”strategi pemisahan” total. Gubernur Muzakir ”Mualem” Manaf dan DPRA harus segera menggunakan otoritas politiknya, untuk menuntut evaluasi total interkoneksi listrik. Apalagi Mualem beberapa kali pernah bilang ingin melepaskan Aceh dari ketergantungan pada Medan.

Kini, saatnya mengubah lelucon pahit "listrik mati tanda akan datang Ramadhan" jadi jaminan yang meyakinkan. Listrik stabil di Aceh. Itu tanda-tandanya investor siap masuk. Hanya dengan kedaulatan energi, kita bisa menyeruput kopi Gayo tanpa khawatir tiba-tiba gelap gulita. Dan, berhenti menertawakan kegagalan yang selama ini kita biarkan terus berulang.

Waduh…! Maaf ya ingin nulis lebih panjang lagi, tapi baterai HP hanya tinggal 10 persen dan pesan di grup-grup WA sudah ratusan belum dibaca. Sudah ya. Kopi Arabika pun sudah habis. Peace…!!![nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI