Jum`at, 21 November 2025
Beranda / Kolom / Memori Kolektif Bernama Helsinkisme

Memori Kolektif Bernama Helsinkisme

Kamis, 20 November 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Safriady

Safriady adalah Pemerhati Isu Strategis. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Kolom - Ketika Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki pada 15 Agustus 2005, keduanya sebenarnya sedang mengambil langkah politik paling berani dalam sejarah kontemporer Indonesia. Keputusan itu menutup babak panjang konflik bersenjata yang berlangsung nyaris tiga dekade, merenggut lebih dari 15.000 jiwa, mengguncang ekonomi lokal, dan menciptakan trauma intergenerasional dalam masyarakat Aceh.

Perdamaian Helsinki bukan sekadar dokumen perjanjian, ia adalah tonggak transformasi politik, sosial, dan keamanan yang kemudian menjadi salah satu studi keberhasilan resolusi konflik paling sering dikutip di Asia Tenggara.

Isu implementasi dan konsistensi MoU Helsinki kembali mencuat ke ruang publik setelah anggota DPR RI, Benny K. Harman mengungkapkanya dalam rapat di DPR RI. Pernyataannya lahir dalam konteks dinamika politik Aceh hari ini mulai dari persoalan kewenangan khusus, penegakan butir-butir perjanjian, hingga relasi pusat-daerah yang terus mengalami pasang surut. Namun jika dibaca dalam cara pandang konstruktif, pesan Benny K. Harman sesungguhnya mengingatkan publik bahwa stabilitas perdamaian bukanlah barang jadi. Ia harus terus dijaga, dirawat, dan dipastikan tetap berada dalam jalur kesepahaman yang telah dibangun bersama.

Pernyataan tersebut relevan bukan karena pesannya yang berulang, tetapi justru karena ia hadir ketika ruang dialog tentang Aceh sering kali tenggelam dalam hiruk pikuk politik nasional. Dalam narasi positif, suara seperti yang disampaikan Benny K. Harman penting untuk menjaga kesadaran publik bahwa perdamaian Aceh bukan sekadar hasil dari negosiasi elite, melainkan komitmen konstitusional untuk memastikan seluruh warga negara hidup dalam keadilan, martabat, dan rasa aman.

MoU Helsinki, Struktur Damai & Pertimbangan Realitas

MoU Helsinki lahir dari situasi luar biasa. Bencana tsunami 26 Desember 2004 telah meruntuhkan banyak sekat psikologis antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh. Infrastruktur lumpuh, pemerintahan daerah porak poranda, dan hampir setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Dalam kondisi seperti itu, negosiasi damai menemukan momentumnya. Pemerintah Indonesia membawa mandat politik yang kuat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sementara GAM datang dengan kesediaan realistis untuk mengakhiri perjuangan bersenjata.

Perjanjian tersebut memuat sejumlah poin strategis yang kemudian menjadi dasar hubungan pusat Aceh hingga hari ini. Kewenangan khusus Aceh, pembentukan partai lokal, reintegrasi mantan kombatan, pembentukan Badan Reintegrasi Aceh, dan penguatan peran lembaga pengawas seperti Aceh Monitoring Mission (AMM). Artikulasi politik GAM dalam bentuk partai lokal, yang kemudian terwujud melalui Partai Aceh, menjadi salah satu indikator kesediaan GAM untuk benar-benar meninggalkan jalur kekerasan.

Pada level administratif, lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 menjadi perangkat hukum paling komprehensif sebagai turunan langsung MoU Helsinki. Undang-undang inilah yang membuka jalan bagi Aceh memiliki kewenangan fiskal, simbol daerah, sistem politik lokal, hingga tata kelola sumber daya alam yang berbeda dibanding provinsi lain di Indonesia.

Dalam konteks tersebut, setiap pernyataan publik yang menyerukan konsistensi implementasi MoU, termasuk dari Benny K. Harman, secara prinsip mengakui bahwa perjanjian itu merupakan salah satu aset negara yang tak boleh ditelantarkan. Perdamaian Aceh bukan hanya milik masyarakat Aceh, tetapi milik seluruh Indonesia.

Konstruksi Positif Pesan Benny K. Harman

Pernyataan Benny K. Harman muncul dalam diskusi tentang relasi pusat-daerah, terutama mengenai bagaimana pemerintah memperlakukan kesepakatan politik yang pernah diambil secara sah dan resmi. Dalam konteks Aceh, ia mengingatkan agar pemerintah tetap memegang janji yang tertulis dalam MoU Helsinki sebagai bentuk penghormatan terhadap komitmen negara.

Pada titik ini, pesannya sesungguhnya sederhana, negara harus menjadi pihak yang paling konsisten terhadap janji - janjinya sendiri. Karena inkonsistensi negara dalam implementasi suatu perjanjian dapat menciptakan defisit kepercayaan politik, membuka ruang resistensi, dan pada saat tertentu menjadi titik rawan bagi stabilitas lokal.

Dengan demikian, pesan tersebut pada dasarnya mengajak semua pihak baik masyarakat Aceh maupun publik nasional untuk melihat perdamaian sebagai proyek kolektif. Proyek yang hanya dapat bertahan bila dirawat dalam suasana dialog, keterbukaan, dan penghormatan terhadap keberagaman politik yang ada. Di tengah perubahan sosial yang cepat dan kompetisi politik yang kian tajam, suara yang menegaskan kembali nilai dialog itu menjadi penting karena mengingatkan bahwa stabilitas tak lahir dari keheningan, melainkan dari kemampuan untuk mendengar dan menghargai perbedaan.

Pemahaman tentang arti perdamaian Aceh, juga menegaskan kembali peran Aceh sebagai bagian dari fondasi persatuan nasional. Ia mengajak Indonesia untuk tidak hanya merayakan damai, tetapi menjaga dan menghidupkannya setiap hari dalam tindakan yang konkret, inklusif, dan berorientasi masa depan.

Mengapa Pesan Ini Menjadi Penting?

Pasca 19 tahun MoU Helsinki, Aceh telah memasuki fase baru. Konflik bersenjata telah berakhir, tetapi tantangan politik dan sosial tetap hadir dalam bentuk yang berbeda. Ada beberapa dinamika yang perlu dicermati.

Pertama, siklus politik lokal yang semakin kompleks, partai politik lokal, terutama Partai Aceh yang lahir dari struktur mantan kombatan, menghadapi tekanan internal dan eksternal. Perubahan generasi menyebabkan fragmentasi politik yang memengaruhi efektivitas kepemimpinan lokal. Di sisi lain, hubungan antara elite-elite eks kombatan dan masyarakat sipil belum sepenuhnya harmonis karena berbagai perbedaan kepentingan.

Kedua, persoalan kesejahteraan yang belum merata, data tingkat kemiskinan di beberapa kabupaten di Aceh masih berada di atas rata-rata nasional. Walaupun dana otsus telah mengalir secara signifikan, persoalan efisiensi dan tata kelola menjadi isu yang terus dibahas. Ketiga, agenda harmonisasi implementasi UUPA dengan regulasi nasional, beberapa regulasi turunan dari MoU dianggap belum sepenuhnya berjalan, termasuk pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan sejumlah item teknis terkait peradilan adat, kewenangan fiskal, dan peran partai lokal. Di sinilah sering kali muncul ketegangan antara aspirasi Aceh dan kebijakan pemerintah pusat.

Perjanjian Helsinki dalam Perspektif Keberlanjutan Nasional

Pasca dua dekade, MoU Helsinki bukan hanya dokumen sejarah, ia adalah fondasi yang memengaruhi arah pembangunan Aceh dan Indonesia. Keberhasilan Aceh mempertahankan kondisi aman selama hampir dua dekade merupakan pencapaian historis.

Namun, stabilitas seperti ini tidak terjadi secara otomatis. Ia membutuhkan komitmen kolektif dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, mantan kombatan, masyarakat sipil, hingga generasi muda Aceh. Pernyataan Benny K. Harman tentang pentingnya menjaga substansi MoU Helsinki seharusnya dibaca sebagai upaya memperkuat narasi bahwa perdamaian adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga bersama.

Menjaga Warisan Helsinki

MoU Helsinki adalah hasil dari keberanian politik, pengorbanan banyak pihak, dan kesediaan untuk memilih dialog ketimbang senjata. Dalam perjalanan sejarah bangsa, perjanjian ini menjadi salah satu tonggak paling penting dalam menunjukkan bahwa konflik bersenjata dapat diakhiri melalui mekanisme negosiasi yang terhormat.

Komitmen terhadap perjanjian perdamaian harus dijaga dengan disiplin moral dan konsistensi politik. Ketika negara menghormati perjanjian yang telah ia buat, maka negara sedang menjaga dirinya sendiri. Karena pada akhirnya, perdamaian Aceh adalah cerminan dari kedewasaan demokrasi Indonesia.

Penulis: Safriady adalah Pemerhati Isu Strategis

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI