DIALEKSIS.COM | Indepth - Bagaimana nasib rakyat kecil ketika harus berhadapan dengan mafia tanah? Bagaikan daun yang membentur duri. Tidak punya kekuatan untuk mempertahankan haknya.
Jangankan rakyat kecil, mereka yang punya kekuatan saja harus “berperang” dalam persoalan tanah. Lihatlah bagaimana pertikaian perkara tanah antara mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dengan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk, anak dari perusahaan Lippo Group.
Yusuf Kalla mengklaim tanah seluas 16,4 hektare (ha) miliknya yang sah secara hukum “dirampas” mafia. Tanah itu dibelinya langsung dari ahli waris Gowa sekitar 35 tahun yang lalu.
Namun, GMTD Tbk, anak dari perusahaan Lippo Group menyatakan Jusuf Kalla tidak punya hak atas tanah tersebut, merekalah yang berhak atas tanah yang berlokasi di Jalan Metro Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Tanah itu diperoleh lewat pembelian yang sah.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyebutkan ada dua dasar hak berbeda pada tanah tersebut.
Ada sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 8 Juli 1996 dan berlaku hingga 24 September 2036. Ada juga Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk, yang berasal dari kebijakan Pemerintah Daerah Gowa dan Makassar sejak tahun 1990-an.
Selain kedua dasar hak tersebut, sengketa ini juga berkaitan dengan gugatan dari Mulyono serta putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 228/Pdt.G/2000/PN Makassar dalam perkara antara GMTD melawan Manyombalang Dg. Solong. Dalam gugatan tersebut, GMTD dinyatakan sebagai pihak yang menang.
Runyam. Bagaimana kisahnya hingga kasus ini menjadi perhatian publik, sebenarnya tanah siapa yang mereka sengketakan? Selevel Jusuf Kalla saja terseret masalah tanah. Dialeksis.com merangkumnya.
Mafia Tanah
Jusuf Kalla mengklaim tanah seluas 16,4 hektare (ha) di Jalan Metro Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar adalah miliknya secara sah. Tanah dibeli langsung dari ahli waris raja Gowa sekitar 35 tahun lalu.
"Sudah sertifikat ada, jual belinya 35 tahun lalu, saya sendiri yang beli," katanya saat meninjau langsung lokasi tanah sengketa, Rabu (5/11).
Jusuf Kalla menuding adanya campur tangan mafia tanah di balik sengketa ini. Tanah itu dibeli GMTD dari Haji Najmiah. Haji Najmiah 'kan mafia tanah di sini dulu," ungkapnya Jusuf Kalla seperti dilansir beberapa media. Jusuf Kalla (JK) menyebut upaya pengambilalihan lahan ini sebagai bentuk perampokan.
"Karena kita punya, ada suratnya, ada sertifikatnya. Tiba-tiba dia mengaku. Itu perampokan namanya, 'kan," jelasnya.
JK dengan keras mengkritik perintah eksekusi dari pengadilan di atas lahan miliknya. Ia menyatakan bahwa prosedur wajib, yakni pencocokan dan pengukuran di lokasi (constatering) namun tidak dilaksanakan dengan benar.
"Itu eksekusi harus didahului dengan namanya constatering. Pengukuran. Mana pengukurannya? Mana orang BPN-nya? Mana orang camat-nya? Mana orang lurah? Tidak ada semua," tegasnya.
JK menuding eksekusi itu sengaja dilakukan secara diam-diam. Namun, wakil presiden ke 10 dan 12 ini berjanji akan melakukan perlawanan dengan langka-langkah hukum dan menuntut keadilan.
"Mau sampai ke mana pun, kita siap untuk melawan ketidakadilan, ketidakbenaran," tegasnya.
Ahirnya mantan Wakil Presiden (Wapres) ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menyampaikanya ke DPR RI. Dia menegaskan bahwa mafia tanah harus dilawan bersama-sama, jika tidak ingin masyarakat lain juga menjadi korban.
"Itu praktik itu terjadi di mana-mana, dan kita harus lawan bersama-sama. Kalau tidak, ini merupakan masyarakat jadi korban, termasuk saya ini korban, tapi kan kita punya apa itu formal yang tidak bisa dibantah," ujar JK, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin (10/11/2025).
JK menyebut, praktik penyerobotan lahan tidak hanya terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, melainkan di banyak tempat.
Anggota Komisi II DPR Azis Subekti menyoroti sengketa lahan antara PT Hadji Kalla dengan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk.
Azis mengatakan, kasus sengketa tanah seluas 16,4 hektar di Makassar itu kembali membuka mata publik bahwa isu mafia tanah dan carut-marut administrasi pertanahan di masa lalu bukan sekadar isu, tetapi kenyataan pahit yang bisa menimpa siapa saja.
"Kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa menjadi korban salah kelola administrasi pertanahan, apalagi rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa dan jaringan," ujar Azis dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).
Azis menjelaskan, ramainya pemberitaan mafia tanah selama ini menegaskan adanya persoalan serius dalam tata kelola pertanahan, termasuk dugaan keterlibatan oknum-oknum internal di lembaga pertanahan pada masa lalu.
Menurut dia, penerbitan sertifikat ganda, data yang tumpang tindih, hingga proses administrasi yang tidak transparan telah melahirkan ketidakpastian hukum yang merugikan warga negara serta menggerus kepercayaan publik terhadap negara.
Data nasional mencatat sedikitnya 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara tanah pada 2024, dengan tingkat penyelesaian baru sekitar 46,88 persen. Sampai bulan Oktober 2025, Kementerian ATR/BPN mencatat 6.015 kasus pertanahan yang diterima dan 50 persen sudah diselesaikan," ujar Azis.
Itu artinya, kata Azis, lebih dari separuh masalah pertanahan masih menggantung dan berpotensi menjadi sumber ketidakpastian hukum maupun konflik sosial di masa depan.
Politikus Partai Gerindra ini menyampaikan, yang lebih memprihatinkan, rakyat kecil justru berada di posisi paling rentan. Dia memaparkan bahwa sepanjang 2024, terdapat sekitar 2.161 kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat kecil.
Bila seorang mantan Wapres saja bisa menjadi korban malaadministrasi, berisiko bagi petani, nelayan, dan warga biasa jauh lebih besar.
Banyak dari mereka tidak memiliki kemampuan hukum, akses informasi, atau jaringan politik untuk memperjuangkan haknya. Di sinilah negara harus hadir secara aktif, bukan pasif," kata anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR itu.
Azis pun menekankan bahwa kasus sengketa tanah di Makassar yang menyebabkan Jusuf Kalla merasa dirugikan akibat malaadministrasi oknum BPN harus dijadikan pelajaran penting. Dia menilai ini adalah momentum untuk membenahi total keterbukaan administrasi dan sistem pemberian hak atas tanah, dari hulu hingga hilir.
"Tidak boleh lagi ada ruang abu-abu yang memungkinkan terjadinya sertifikat ganda, manipulasi data, maupun praktik percaloan yang merugikan warga negara," kata Azis.
Azis mendesak Kementerian ATR/BPN perlu membuka ruang seluas-luasnya bagi penanganan kasus serupa yang melibatkan rakyat kecil.
Klaim pihak PT GMTD
Berbeda dengan penjelasan Jusuf Kalla soal tanah seluas 16,4 hektar yang disebut dicaplok PT GMTD. Menurut Presiden Direktur PT GMTD Tbk, Ali Said, tanah yang menjadi polemik diklaim sepenuhnya milik sah PT GMTD Tbk lewat jual beli pada tahun 1991“1998.
"Hal itu berdasarkan proses pembelian dan pembebasan lahan yang dilakukan secara sah, transparan, dan sesuai ketentuan hukum pada periode 1991“1998," ujar Ali Said dikutip dari Kompas.com pada Jumat (14/11/2025).
Menurut Ali, proses pembelian dan pembebasan lahan tersebut dilaksanakan berdasarkan hak tunggal dan wewenang resmi yang ada pada masa tersebut.
"Berdasarkan hak tunggal dan wewenang resmi pada masa itu, PT GMTD Tbk untuk melakukan pembebasan, pembelian, dan pengelolaan lahan di kawasan Metro Tanjung Bunga," jelasnya.
Menurut Ali Said, siapa saja pihak-pihak yang mengeklaim atas kepemilikan lahan tersebut dinyatakan tidak sah.
"Dengan demikian, setiap pihak yang mengeklaim memiliki hak atas lahan tersebut dengan dasar apapun, termasuk atas nama pembelian atau pembebasan lahan khususnya pada periode 1991“1998 adalah tidak sah, tidak memiliki dasar hukum, serta merupakan perbuatan melawan hukum," jelasnya.
Dijelaskan Ali Said, pada masa tersebut satu-satunya pihak yang secara legal berwenang dan berhak melakukan pembebasan atau transaksi lahan hanyalah PT GMTD Tbk.
Dia juga mengungkap, sebulan terakhir lahan 16 hektar yang dikuasai secara fisik oleh PT GMTD Tbk sempat terjadi upaya penyerobotan secara fisik dan ilegal yang terdokumentasi oleh pihak tertentu.
Kasus dugaan penyerobotan itu pun sudah dilaporkan secara resmi kepada pihak Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) maupun Mabes Polri.
"Melalui pernyataan ini, PT GMTD Tbk memohon perhatian semua pihak untuk melihat dan menilai persoalan ini secara objektif, berlandaskan fakta hukum, dan sesuai dengan dokumen resmi yang berlaku,” pintanya.
PT GMTD Tbk tetap menghormati seluruh proses penegakan hukum dan siap bekerja sama dengan aparat berwenang demi menjaga kepastian hukum, ketertiban, dan kepentingan masyarakat luas," sebutnya.
Penjelasan ATR/BPN
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid turut memberikan keterangan sehubungan dengan sengketa tanah antara Jusuf Kalla (JK), dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), bagian dari Lippo Group.
Nusron menyebutkan ada dua dasar hak berbeda pada tanah tersebut. Ada sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar pada 8 Juli 1996 dan berlaku hingga 24 September 2036.
Lalu di atas lahan yang sama juga terdapat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk, yang berasal dari kebijakan Pemerintah Daerah Gowa dan Makassar sejak tahun 1990-an.
Selain kedua dasar hak tersebut, sengketa ini juga berkaitan dengan gugatan dari Mulyono serta putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 228/Pdt.G/2000/PN Makassar dalam perkara antara GMTD melawan Manyombalang Dg. Solong. Dalam gugatan tersebut, GMTD dinyatakan sebagai pihak yang menang.
Nusron menjelaskan, bahwa secara hukum, putusan tersebut hanya mengikat para pihak yang berperkara dan ahli warisnya sehingga tidak otomatis berlaku terhadap pihak lain di lokasi yang sama. Fakta hukum juga menunjukkan PT Hadji Kalla memiliki hak atas dasar penerbitan yang berbeda.
"Fakta hukum menunjukkan bahwa di lahan itu terdapat beberapa dasar hak dan subjek hukum berbeda. Karena itu, penyelesaiannya harus berdasarkan data dan proses administrasi yang cermat, bukan dengan menggeneralisasi satu putusan," jelas Nusron dalam keterangan resmi, dikutip Senin (10/11/2025).
Nusron menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi di lapangan merupakan kewenangan Pengadilan Negeri Makassar sesuai dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Sementara itu, Kementerian ATR/BPN menjalankan fungsi administratif berdasarkan data pertanahan yang sah.
"Secara administrasi, Kementerian ATR/BPN berkewajiban memastikan bahwa objek tanah yang disebut dalam putusan sesuai dengan data pertanahan yang ada," tegasnya.
Nusron menjelaskan, Kantor Pertanahan Kota Makassar telah mengirim surat resmi kepada Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta klarifikasi dan koordinasi teknis. Hal itu termasuk perlunya konstatiring administratif sebelum pelaksanaan eksekusi agar tidak salah objek.
Konstatiring adalah proses pencocokan atau pengamatan resmi terhadap suatu objek yang berada di kondisi di lapangan untuk memastikan kesesuaiannya dengan amar eksekusi pengadilan.
Menurut menteri, kasus sengketa tanah seluas 16,4 hektare di kawasan Tanjung Bunga, Makassar ini merupakan kasus lama yang sudah berlangsung puluhan tahun lalu.
Sengketa tersebut melibatkan sejumlah pihak seperti PT Hadji Kalla, PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) yang terafiliasi dengan Lippo Group, serta Mulyono dan Manyombalang
"Kasus ini merupakan produk tahun 1990-an. Justru kini terungkap karena kami sedang berbenah dan menata ulang sistem pertanahan agar lebih transparan dan tertib," ujarnya.
Menurutnya, kasus ini menjadi momentum penting untuk mempercepat pembersihan dan digitalisasi data lama serta sinkronisasi peta bidang tanah guna mencegah terbitnya sertifikat ganda dan overlapping di masa depan. Kementerian ATR/BPN berfokus pada penertiban administrasi dan kepastian hukum pertanahan.
"Kami berdiri di atas hukum, bukan di atas kepentingan siapa pun. Fokus kami membenahi sistem agar ke depan setiap hak atas tanah berdiri di atas kepastian hukum," tutupnya.
Bagaimana kelanjutan dari sengketa tanah yang overlapping ini? Ada sertifikat atas Juruf Kalla dan juga ada sertifikat atas nama PT GMTD dilahan yang sama. Siapa yang salah? Siapa nantinya tuan dari tanah sengketa ini, kita ikuti saja. [bg]