Sabtu, 20 Desember 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Media Asing Soroti Kegagalan Penanganan Banjir Bandang dan Longsor Aceh

Media Asing Soroti Kegagalan Penanganan Banjir Bandang dan Longsor Aceh

Kamis, 18 Desember 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Foto udara kayu gelondongan yang terbawa arus banjir di Desa Geudumbak, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Aceh, Jumat (5/12/2025). Kayu gelondongan tersebut menumpuk di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Arakundo pasca diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11) yang menimpa puluhan rumah warga di desa setempat. Foto: ANTARA/Syifa Yulinnas


DIALEKSIS.COM | Indepth - Pedas dank eras. Bagaimana media asing melihat penangangan bencana yang melanda Sumatera. Berbagai media dari belahan penjuru dunia bersuara soal lambanya penangangan bencana di Bumi Pertiwi, serta sejumlah persoalan lainya.

Bagaimana perhatian media asing terhadap bencana Sumatera ini. Sebuah tragedi sejak akhir November 2025, telah menelan seribuan nyawa, ratusan orang dilaporkan hilang. Puluhan ribu rumah penduduk hancur. Satu bencana terburuk di Indonesia sejak tsunami 2004.

Sejumlah media asing menyoroti lambannya respons pemerintah Indonesia, koordinasi penanganan yang kacau, serta faktor lingkungan dan kebijakan yang memperparah dampak bencana. Berikut ringkasan pemberitaan media asing mengenai penanganan bencana Aceh:

•Al Jazeera (Qatar) - Memberitakan langsung dari Aceh Tamiang, menyoroti korban selamat yang kini terancam penyakit dan kelaparan akibat bantuan terlambat datang. Wartawannya melaporkan desa-desa yang “lenyap” tersapu banjir serta menyebut tragedi ini bukan sekadar bencana alam, melainkan kegagalan sistemik dalam manajemen darurat.

•Channel NewsAsia (Singapura) - Melaporkan warga Aceh mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah dan meminta pertolongan, karena tiga minggu pascabencana bantuan masih minim. 

Media ini menyoroti pemerintah pusat yang enggan menetapkan status darurat nasional dan cenderung menolak bantuan luar, sesuatu yang oleh LSM lokal dikatakan sebagai bentuk “kelalaian negara” dalam penanganan bencana.

•South China Morning Post (Hong Kong) - Mengangkat kontroversi pernyataan pejabat Indonesia yang meremehkan bantuan Malaysia, menimbulkan kemarahan publik Malaysia. Komentar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahwa bantuan medis senilai US$60 ribu dari Malaysia “tidak seberapa” dibanding sumber daya Indonesia sendiri memicu kritik bahwa pemerintah Indonesia enggan berterima kasih dan terkesan menolak uluran tangan asing.

•ABC News (Australia) - Fokus pada akar masalah lingkungan, melaporkan tudingan aktivis bahwa deforestasi masif dan pemberian izin tambang oleh pemerintah turut memperparah banjir dan longsor. Disebutkan bahwa langkah pemerintah yang menyalahkan perusahaan justru dianggap “munafik” karena pemerintah sendiri menerbitkan ratusan izin penebangan dan pertambangan di Sumatra.

•Analisis Internasional - Beberapa lembaga dan media barat menulis analisis tajam. Opini di Daily Sabah Turki menyebut banjir Sumatra adalah ujian tata kelola: belum ditetapkannya darurat nasional menghambat pendanaan dan bantuan internasional, sehingga beban tertumpu pada daerah yang sudah kewalahan.

Sementara itu, kajian Fulcrum (think-tank Singapura) menyoroti ketidaksiapan pemerintahan Prabowo menghadapi krisis: respons dinilai “lamban dan tidak terorganisir”, dengan pemotongan anggaran BNPB lebih dari 50% yang melemahkan kapasitas mitigasi bencana.

Bagaimana ulasan media internasional ini, mari kita simak apa yang mereka sajikan!


Al Jazeera: Wabah Penyakit dan Kelaparan di Posko

Al Jazeera menjadi salah satu media asing pertama yang meliput langsung dari wilayah terdampak. Koresponden Jessica Washington sejak awal Desember melaporkan kondisi di Aceh Tamiang “ salah satu daerah terparah di mana para penyintas kini menghadapi “bahaya baru” berupa wabah penyakit dan kelaparan. 

Dalam laporan 9 Desember 2025, Washington menggambarkan bagaimana survivor terpaksa mandi dan mencuci dengan air banjir yang kotor (menyebabkan diare dan infeksi kulit) serta minum air hujan dan memakan sisa makanan terendam karena bantuan logistik tak kunjung datang. 

Ia melaporkan seluruh desa hilang tersapu banjir, meninggalkan penduduk tanpa tempat tinggal dan aset apa pun. Seorang ibu di posko pengungsian menceritakan bayinya sakit di tenda panas tanpa fasilitas memadai, sementara keluarganya kekurangan makanan dan takut akan nyamuk demam berdarah. 

Washington menyoroti kisah tragis korban tewas bukan karena tenggelam, melainkan kelaparan di posko. Beberapa lansia dan anak dilaporkan meninggal setelah berhari-hari hanya minum air hujan dan makan seadanya di tempat pengungsian. 

“Mereka mati kelaparan di posko, bukan karena banjir,” ujarnya, seraya menyimpulkan bahwa tragedi ini “bukan semata bencana alam, melainkan akibat kelalaian negara.” 

Pernyataan senada datang dari mantan Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, yang dikutip media asing, mengatakan “Warga bukan mati karena banjir, tapi karena kelaparan” menegaskan lambatnya distribusi bantuan pangan. 

Al Jazeera juga menampilkan cuplikan warga yang putus asa mengeluhkan bantuan baru tiba hampir seminggu pascabencana, padahal helikopter pemerintah diklaim sudah dikerahkan. “50 helikopter? Itu cuma angka di atas kertas. Faktanya, kami belum kebagian beras sama sekali,” keluh seorang pengungsi dalam salah satu laporan.

Dalam analisisnya, Jessica Washington membandingkan respons bencana ini dengan tsunami Aceh 2004. Ia mencatat bahwa pada 2004, Indonesia segera membuka diri terhadap bantuan internasional dan terjadi solidaritas global, sehingga penanganan bisa lebih cepat.

Sebaliknya, pada banjir kali ini pemerintah pusat terkesan menutup diri. Washington melaporkan koordinasi antarlembaga di lapangan “kacau balau” bantuan terfragmentasi dan tidak merata. 

Beberapa daerah terdampak bahkan dilaporkan menolak bantuan asing karena belum ada status darurat nasional, mengingat pemerintah pusat bersikeras mampu menangani sendiri. 

Koresponden Al Jazeera itu memperingatkan bahwa pemulihan akan memakan waktu sangat lama; ia mengutip pakar lokal yang memprediksi butuh waktu puluhan tahun untuk membangun kembali ratusan desa yang porak-poranda (bahkan sebagian wilayah harus dipetakan ulang karena morfologi sungai berubah).

Media Singapura: Bendera Putih, “Kelalaian Negara”, dan Desakan Darurat Nasional

Media Singapura menyoroti keputusasaan warga Aceh menanti pertolongan. Channel NewsAsia (CNA) pada 15 Desember melaporkan pemandangan deretan bendera putih sepanjang jalan di Aceh Tamiang dan Aceh Timur “ tanda bahwa warga sudah menyerah dan sangat membutuhkan bantuan segera.

“Orang-orang sudah pasrah dan butuh pertolongan. Kami tak sanggup lagi,” ujar seorang warga di Aceh Timur yang dikutip CNA. 

Ia mengeluhkan sudah tiga minggu sejak banjir bandang, namun bantuan yang menjangkau desanya sangat minim. Warga terpaksa mendirikan dapur umum swadaya dengan bahan makanan seadanya, yang itupun kian menipis sehingga banyak yang kelaparan.

Laporan CNA juga menyoroti seruan warga Aceh agar masyarakat internasional turun tangan. “Bendera putih dikibarkan sebagai tanda darurat, meminta komunitas internasional membantu Aceh,” kata narasumber lokal yang dikutip media tersebut. 

Menariknya, CNA mengontraskan teriakan minta tolong dari lapangan itu dengan sikap pemerintah pusat di Jakarta. Disebutkan bahwa sejumlah pemimpin dunia telah menawarkan bantuan, namun Presiden Prabowo Subianto menolak dengan halus, menyatakan situasi masih terkendali. 

“Saya bilang, terima kasih atas perhatiannya tapi kami bisa tangani sendiri,” ujar Prabowo pada 11 Desember. Pernyataan ini mendapat sorotan karena dinilai tidak sejalan dengan realita di lapangan yang kekurangan tenaga, logistik, dan infrastruktur.

CNA juga menggarisbawahi masalah distribusi bantuan. Organisasi lingkungan setempat, Auriga, menyebut banyak relawan dan kelompok masyarakat yang ingin mengirim bantuan dari luar Aceh terhambat logistik “ “maskapai nasional memprioritaskan kargo bantuan pemerintah”, sehingga donasi publik sulit diterbangkan. 

Auriga mengecam hal ini sebagai bentuk “kelalaian negara” dalam menjamin penanganan bencana yang adil dan efektif. Imbasnya, kondisi di lapangan kian parah: bantuan swadaya masyarakat menumpuk di bandara, sementara pengungsi di Aceh kekurangan suplai. 

Laporan itu sejalan dengan temuan Reuters yang menulis bahwa di Aceh Tamiang, warga sampai minum air banjir yang keruh karena tak ada air bersih, dan di Aceh Pidie Jaya stok bahan bakar serta beras nyaris habis.

Media Singapura juga menyoroti desakan agar pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional. CNA mengabarkan bahwa berbagai elemen masyarakat Aceh “ LSM, tokoh daerah hingga mahasiswa berencana menggelar aksi unjuk rasa menekan Jakarta agar segera mendeklarasikan “darurat nasional”. 

Penetapan status ini diyakini akan membuka jalan bagi koordinasi lebih luas dan penerimaan bantuan internasional. Selama status tersebut belum ada, beban respon bencana sepenuhnya ditanggung pemerintah daerah dan relawan yang kewalahan. 

CNA mengutip seorang juru bicara Gerakan Rakyat Aceh Bersatu yang mengatakan aksi protes dilakukan di Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Timur dan beberapa kabupaten lain untuk menuntut hal tersebut.

Sebuah analisis di Fulcrum (portal kajian Asia Tenggara di Singapura) bahkan lebih lugas mengkritik respon pemerintah pusat. Artikel berjudul “Indonesia’s Slow Disaster Response: President Prabowo Constrained by His Own Agenda” terbit 17 Desember menyatakan banjir Sumatra ini menelanjangi kurangnya kesiapan dan kapasitas pemerintah Prabowo menghadapi krisis. 

Tidak ada rencana kontinjensi berarti meski BMKG sudah mengeluarkan peringatan dini berhari-hari sebelum siklon mendarat. Kondisi dua minggu pascabencana digambarkan masih “mengenaskan” di banyak tempat: jalan dan jembatan putus membuat distribusi air bersih dan bantuan tersendat, bahkan Bupati Aceh Utara sampai menangis di depan umum mengaku tak sanggup mengatasi bencana. 

Menurut Fulcrum, meski Presiden Prabowo sudah tiga kali mengunjungi lokasi banjir, kunjungan tersebut belum berbuah koordinasi penanganan yang efektif. Justru, kunjungan itu menyoroti absennya perencanaan yang matang dan lemahnya koordinasi institusi di lapangan. 

Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika banjir baru terjadi, pejabat di Jakarta dilaporkan gagal memahami skala bencana yang sebenarnya. Fulcrum menyoroti kesan presiden “tidak peka” karena dalam pidato awal bencana ia malah memuji industri kelapa sawit sebagai andalan ekonomi ironi mengingat industri sawit dan deforestasi luas di Sumatra dituding turut memperparah banjir.

Fulcrum juga mengkritik beberapa menteri kabinet yang terkesan memanfaatkan krisis untuk pencitraan. Contohnya, Zulkifli Hasan (Menko Pangan) tertangkap kamera “memikul karung beras” dan berfoto sambil membantu warga membersihkan lumpur. 

Aksi tersebut dinilai lebih sebagai atraksi politik ketimbang solusi nyata, mengingat kebutuhan di lapangan jauh lebih besar daripada sekadar satu-dua karung beras. 

“Respons pemerintahan Prabowo yang baru setahun berjalan tampak sangat tidak siap dan kacau,” tulis Made Supriatma, peneliti Fulcrum. Padahal, ia mencatat, ironisnya banyak program unggulan pemerintah (seperti food estate, swasembada energi) diklaim untuk kesiapsiagaan krisis namun saat krisis sungguhan datang, penanganannya lambat dan amburadul.


Reaksi Malaysia dan Media Asia Lain: Bantuan “Tidak Seberapa” dan Solidaritas yang Tersinggung

Sikap pemerintah Indonesia yang terkesan menutup diri dari bantuan asing juga disorot melalui kacamata media negara tetangga. Kasus yang paling ramai diberitakan adalah pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengenai bantuan Malaysia. 

South China Morning Post (SCMP) asal Hong Kong memberitakan kemarahan publik Malaysia setelah Tito dalam sebuah podcast viral menyebut bantuan banjir dari Malaysia “tidak banyak” nilainya. 

Pada potongan video yang beredar 16 Desember, Tito membandingkan pasokan medis senilai Rp1 miliar (±US$60 ribu) yang dikirim Malaysia dengan anggaran dan sumber daya Indonesia sendiri yang jauh lebih besar. 

“Anggaran dan pengerahan kita jauh lebih besar dari itu. Jadi sebaiknya jangan sampai muncul narasi seolah kita butuh bantuan negara lain,” ujarnya dalam bahasa Indonesia. 

Pernyataan ini menyinggung perasaan banyak warga Malaysia, mengingat bantuan kemanusiaan seharusnya diterima dengan rasa syukur, bukan dibanding-bandingkan.

SCMP melaporkan reaksi sengit netizen Malaysia di media sosial. Salah satu komentar populer menegur, “Bantuan kemanusiaan itu untuk meringankan beban, bukan menyelesaikan semua masalah. Tidak adil membandingkan kewajiban Anda mengurus rakyat sendiri dengan bantuan kecil kami. Ya, itu ‘tak seberapa’ tapi ada tujuannya,” tulis pengguna dengan nama IzzraifHarz.

Ungkapan “just say thank you” pun ramai diserukan, menyarankan pejabat Indonesia cukup mengucapkan terima kasih alih-alih mengecilkan nilai bantuan. 

Media Singapura Mothership dan portal Asia Tenggara The Rakyat Post turut mengulas kontroversi ini, yang pada intinya memperlihatkan sentimen negatif bahwa pemerintah Indonesia enggan merendah untuk menerima bantuan luar. 

Insiden ini dikhawatirkan dapat merusak solidaritas regional di tengah krisis, apalagi Malaysia dan Singapura sendiri juga terdampak siklon namun tetap menawarkan bantuan ke Indonesia.

Selain itu, media asing mengamati gelombang solidaritas warga dan komunitas Indonesia di luar jalur pemerintah. SCMP menampilkan foto relawan membongkar bantuan di Aceh Tamiang, sementara Yahoo News (mengutip AFP) memberitakan banyak warga Indonesia, termasuk diaspora, menggalang dana dan suplai untuk dikirim ke Sumatra. 

Gerakan swadaya melalui platform crowdfunding seperti Kitabisa berhasil mengumpulkan puluhan miliar rupiah dalam hitungan hari. 

Kedermawanan masyarakat Indonesia mendapat pujian sebagai “salah satu yang terbesar di dunia” sebuah kisah positif di tengah kritik terhadap lambatnya birokrasi pemerintah. 

Namun, sebagaimana ditulis Daily Sabah, solidaritas akar rumput yang mengharukan ini “tak bisa menggantikan perlunya kesiapsiagaan dan tata kelola pemerintahan yang terkoordinasi”. 

Artinya, sebaik apapun rakyat saling membantu, tetap dibutuhkan peran negara yang sigap agar beban krisis tidak selalu jatuh ke pundak relawan.

SCMP juga menyoroti angka kematian yang tinggi “ lebih dari 1.000 jiwa “ menjadikan banjir bandang Sumatra ini paling mematikan di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Media internasional lain seperti Reuters dan BBC juga rutin memberitakan perkembangan korban serta tantangan logistik. 

Reuters mencatat kemarahan publik di media sosial terhadap pemerintah pusat yang lamban menetapkan status darurat dan fakta bahwa anggaran BNPB justru dipangkas 50% pada 2025 dibanding tahun sebelumnya. 

Pemotongan anggaran ini dari Rp4,29 triliun di 2024 menjadi hanya Rp2,01 triliun di 2025 disebut berdampak serius pada kemampuan BNPB, apalagi di 2026 konon akan turun lagi jadi Rp491 miliar. Kritik bahwa penanggulangan bencana bukan prioritas pemerintah Prabowo pun mengemuka di sejumlah outlet, mengingat Indonesia dijuluki “supermarket bencana” yang rawan gempa, letusan gunung, hingga badai.

Menariknya, Fulcrum juga menyebut adanya fenomena simbolis di lapangan: sebagian warga Aceh dikabarkan mengibarkan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di lokasi terdampak. Pengibaran bendera yang identik dengan gerakan separatis (dan terlarang pascaperdamaian 2005) ini dilaporkan sebagai bentuk protes putus asa terhadap lambannya bantuan pemerintah pusat. 

Meski belum terkonfirmasi luas, kabar ini cukup mencuri perhatian analis internasional pertanda bahwa krisis respons bencana bisa berdampak pada sensitivitas politik lokal di Aceh.


Sorotan Media Barat: Faktor Lingkungan dan Ujian bagi Pemerintah

Selain sisi kemanusiaan dan kegagapan birokrasi, media asing juga membahas akar penyebab dan dampak jangka panjang bencana Aceh. 

ABC News Australia dalam laporannya berjudul “Indonesian environmentalists blame rapid forest loss in Sumatra for severity of deadly floods” (4 Desember) menyajikan konteks bahwa deforestasi besar-besaran telah memperparah banjir bandang. Ratusan ribu hektare hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Barat telah hilang dalam dua dekade terakhir karena ekspansi kelapa sawit dan tambang. 

Akibatnya, daya serap air menurun drastis. Ribuan gelondongan kayu yang tampak terbawa arus banjir di video viral menjadi bukti kerusakan ekologis. ABC mengutip pakar lokal yang menegaskan banjir dan longsor ini bukan semata fenomena cuaca, melainkan “gabungan faktor alam dan ulah manusia”.

Pemerintah Indonesia sendiri mengumumkan akan memeriksa delapan perusahaan yang diduga terlibat pembalakan liar atau pelanggaran lingkungan di wilayah terdampak. Namun, ABC melaporkan kritik LSM bahwa langkah itu hipokrit: “Pemerintah ikut andil atas kehancuran ini dengan menerbitkan ratusan izin tambang dan penebangan,” ujar Uli Arta Siagian dari Walhi. 

Banyak kayu hasil tebangan diekspor, sementara lahan bekas hutan dijadikan kebun sawit yang hasilnya juga diekspor. 

Artinya, keserakahan industri yang dilegalkan turut menciptakan bom waktu bencana ekologis. Media Inggris The Guardian juga mengangkat analisis World Weather Attribution yang menyimpulkan perubahan iklim memperkuat curah hujan ekstrem hingga 28“160% di wilayah yang diterjang Siklon Senyar. 

“Ini bukan normal,” kata ilmuwan, merujuk pada kombinasi monsun dan pemanasan global yang kian mematikan. The Guardian menyebut climate crisis sebagai faktor yang menjadikan bencana Asia Tenggara akhir 2025 ini sangat parah, apalagi ditambah rusaknya hutan Aceh yang dulu menjadi penahan air.

Sementara itu, opini di Daily Sabah (media Turki) tanggal 18 Desember menilai bencana ini sebagai “rekorning ekologis dan ujian tata kelola” bagi Indonesia. Penulis Revda Iseric mengapresiasi solidaritas rakyat yang bahu-membahu membantu korban, namun ia mempertanyakan apakah “sistem kekuasaan akan bangkit memenuhi panggilan tersebut” sebelum bencana berikutnya datang. 

Ia menyoroti pernyataan pejabat BNPB, Suharyanto, yang sempat menyepelekan skala bencana dengan mengatakan “di media sosial terlihat lebih seram daripada kenyataan” komentar yang menuai kecaman luas hingga ia minta maaf setelah melihat langsung kondisi di lapangan. 

Hal ini menunjukkan kurangnya empati awal pejabat terhadap penderitaan korban. Daily Sabah juga menggarisbawahi bahwa hingga pertengahan Desember pemerintah pusat belum juga menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional, yang menghambat mobilisasi bantuan internasional dan pendanaan cepat. 

Padahal, kerugian ekonomi nasional diperkirakan mencapai Rp68,6 triliun (±US$5,3 miliar), dan BNPB sendiri memperkirakan butuh sedikitnya Rp51 triliun (±US$4 miliar) untuk rekonstruksi. Kesenjangan ini luar biasa besar mengingat alokasi dana awal pemerintah hanya Rp500 miliar, kemudian dinaikkan menjadi Rp768 miliar setelah tekanan publik jumlah yang disebut sangat kecil dibanding kebutuhan.

Dalam nada reflektif, Daily Sabah menulis bahwa banjir Sumatra lebih dari sekadar bencana alam ini adalah ujian bagi kepemimpinan dan sistem pemerintahan Indonesia. Perubahan iklim akan membuat cuaca ekstrem makin sering, dan eksploitasi lingkungan memperbesar dampaknya. 

Media asing mempertanyakan: mampukah pemerintah Indonesia belajar dari krisis ini? Apakah para pejabat akan memperbaiki koordinasi, mengutamakan keselamatan warga di atas pencitraan, dan membuka diri terhadap bantuan ketika dibutuhkan, seperti pada 2004? 

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul seiring sorotan tajam media internasional terhadap setiap langkah pemerintah Indonesia dalam penanganan bencana Aceh.

Kesimpulannya, pemberitaan media asing secara umum memberikan cermin dari luar: banyak yang memuji ketangguhan dan solidaritas rakyat Indonesia, namun sekaligus mengkritik kelambanan, keengganan, dan ketidakmampuan sistemik pemerintah dalam merespons bencana besar ini. 

Dari Aceh yang porak-poranda, dunia menyaksikan bahwa Indonesia “gagal emas” dalam ujian penanganan bencana kali ini, seperti disiratkan tagar #IndonesiaGagalIndonesiaEmas yang viral. Harapannya, sorotan internasional ini dapat mendorong evaluasi menyeluruh agar ke depan, nyawa rakyat tidak lagi menjadi korban kelambanan respons. 

Pemerintah Indonesia dituntut mengambil pelajaran pahit ini “ memperbaiki sistem peringatan dini, memastikan dana darurat memadai. Melibatkan bantuan asing bila diperlukan, serta menjaga lingkungan demi mencegah tragedi kemanusiaan serupa terulang di masa mendatang.

Media asing saja sudah menyoroti bagaimana carut marutnya penangangan banjir langsor yang melanda Sumatera. Tentunya para korban lebih sengsara lagi. Apakah kita masih menutup nurani kita, mempertahankan “gengsi dan harga diri”.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
pema