DIALEKSIS.COM | Indepth - Puluhan bendera putih tampak berkibar di sejumlah titik sepanjang jalan nasional di Aceh pascabencana banjir bandang dan longsor. Pemandangan tak biasa ini mulai muncul memasuki pekan ketiga pascabencana yang melanda provinsi Aceh sejak akhir November 2025. Di Kabupaten Aceh Tamiang, misalnya, kain putih itu dipasang berjajar di sepanjang Jalan Lintas Medan - Banda Aceh jalur utama yang dilalui ribuan kendaraan setiap hari.
Fenomena serupa dilaporkan terjadi di Aceh Timur, Kota Langsa, Pidie Jaya, Aceh Utara, hingga Aceh Tengah di pedalaman Gayo. Bahkan tidak hanya di wilayah daratan utama, masyarakat di Kota Sabang ujung barat Aceh kabarnya juga mengibarkan bendera putih. Semuanya mengisyaratkan satu hal: warga yang terdampak bencana telah mencapai titik keputusasaan.
Warga setempat menegaskan bahwa pengibaran bendera putih ini bukan aksi politik, melainkan ungkapan keterbatasan mereka menghadapi situasi pascabencana yang kian memburuk. “Bendera putih itu menandakan kami menyerah dan tak sanggup lagi, kami butuh bantuan,” ujar Bahtiar, seorang warga Peureulak, Aceh Timur. Sejak banjir bandang dan tanah longsor menerjang pada 26 November 2025, ribuan keluarga kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman.
Hingga tiga pekan berlalu, banyak pengungsi masih bertahan di tenda darurat dengan logistik yang menipis, bahkan sebagian mulai mengalami kelaparan. Kondisi inilah yang mendorong mereka mengibarkan kain putih sebagai seruan minta tolong, isyarat bahwa keadaan sudah darurat dan tak tertangani dengan baik.
Jeritan Pasrah Korban Banjir Bandang
Fenomena bendera putih pertama kali marak pada sekitar 12 - 15 Desember 2025, dua pekan pascabencana. Aksi ini bertepatan dengan rencana kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Aceh Tamiang pada 12 Desember, seolah menjadi jeritan kolektif untuk menarik perhatian pemerintah pusat. “Artinya darurat. Aceh dalam kondisi darurat bencana,” tegas Tgk. Hanafi, seorang warga Langsa, mengenai makna bendera putih tersebut.
“Kami memohon kepada pihak luar negeri agar datang membawa bantuan untuk menangani pascabanjir ini. Kita tidak bisa berharap lagi dengan pusat,” ujarnya frustrasi. Ucapan Hanafi menggambarkan hilangnya kepercayaan warga bahwa bantuan memadai akan datang dari pemerintah sendiri. Mereka berharap lembaga internasional turun tangan melihat betapa parah situasi di Aceh sebenarnya.
Di daerah lain yang terdampak, nada keputusasaan serupa terdengar. “Sudah 15 hari kami di pengungsian. Makan sehari hanya sekali itupun belum tentu ada. Semua pengungsi di sini sudah pasrah, tinggal menunggu kematian,” keluh Dicky, warga Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Wilayah pedalaman seperti Aceh Tengah sempat lumpuh total: jalan terputus, listrik padam dua pekan, logistik amat minim. “Pemerintah Aceh dipastikan tidak sanggup menangani bencana ini. Pemerintah sudah seharusnya menetapkan bencana nasional,” desaknya. Dari pesisir timur hingga dataran tinggi Gayo, rakyat menyatakan menyerah menghadapi bencana berkepanjangan tanpa kepastian bantuan.
Bagi masyarakat terdampak, bendera putih menjadi “bahasa sunyi” untuk menyampaikan penderitaan yang mungkin tak terucapkan. “Ini bukan soal menyerah dalam arti lemah, tapi kami sudah di titik paling akhir. Kami butuh pertolongan,” ungkap seorang warga di Aceh Timur ketika ditanya makna bendera putih yang dipasang di desanya. Kalimat tersebut menegaskan bahwa mengibarkan bendera putih bukan berarti kalah, melainkan simbol bahwa daya juang komunitas telah terkuras habis. Solidaritas dan uluran tangan yang lebih luas sangat mereka butuhkan segera.
Lambannya Respons dan Sikap Pemerintah
Para korban bencana di Aceh menilai respons pemerintah lambat dan belum sebanding dengan skala bencana yang terjadi. Memasuki pekan ketiga pascabencana, bantuan yang datang dirasa sangat terbatas kebanyakan hanya mengandalkan gotong royong warga seperti pendirian dapur umum swadaya, itupun persediaan bahan makanan makin menipis. Kondisi ini berbanding terbalik dengan narasi sebagian pejabat pusat yang menyatakan situasi terkendali. Presiden Prabowo Subianto, misalnya, menegaskan bahwa pemerintah pusat mampu menangani bencana di Sumatra tanpa perlu bantuan asing dan menolak menyebutnya bencana nasional.
“Ada yang teriak-teriak ingin ini dinyatakan bencana nasional. Kita sudah kerahkan... situasi terkendali. Saya monitor terus,” ujarnya dalam rapat kabinet pada 15 Desember 2025. Sikap pemerintah pusat yang enggan menetapkan status bencana nasional ini memicu kekecewaan mendalam di Aceh. Koalisi masyarakat sipil, tokoh lokal, hingga pejabat Aceh kompak mendesak agar status darurat bencana nasional segera dikeluarkan demi mobilisasi bantuan lebih besar.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) pun menghadapi tekanan dari warganya. Menanggapi maraknya aksi bendera putih, Mualem mengaku tidak mendapat laporan resmi sebelumnya dan memastikan itu bukan instruksi pemerintah daerah. “Saya tidak tahu itu, apa maksudnya? Siapa yang perintah itu?” ujarnya heran, seolah tak percaya warganya mengibarkan bendera menyerah.
Ia menegaskan pengibaran bendera putih bukan bagian dari kebijakan Pemda dan meminta jangan ada tafsir politik berlebihan Aceh tetap setia dalam NKRI, katanya. Kendati begitu, pemerintah Aceh sendiri diam - diam telah menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP dan UNICEF) untuk meminta bantuan pemulihan Aceh pascabanjir. Kontradiksi ini menggambarkan kegalauan pemerintah daerah: di satu sisi tak ingin dianggap lemah oleh pusat, tapi di sisi lain sadar kemampuan daerah sangat terbatas menghadapi bencana sebesar ini.
Sementara itu, beberapa bantuan pusat memang mulai berdatangan, namun dirasa terlambat. Menteri Sosial Saifullah “Gus Ipul” Yusuf menyerahkan bantuan logistik senilai Rp9 miliar lebih kepada Pemerintah Aceh pada 16 Desember 2025. Sejumlah provinsi lain turut mengirim bantuan, seperti Kalimantan Tengah yang menyumbang Rp2,8 miliar dan Jambi yang mengirim bantuan kemanusiaan ke Aceh. Meski bantuan terus mengalir, warga menilai upaya tersebut belum menjangkau banyak lokasi terisolir.
Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man), Juru Bicara Pemerintah Aceh yang pernah menjadi Sekretaris BRR Aceh-Nias pascatsunami 2004, menggambarkan betapa minimnya kehadiran negara dirasakan kali ini. “Negara seperti ada dan tiada untuk Aceh,” ujarnya pedih. Ampon Man menyoroti lambannya pengerahan bantuan darurat: tidak terlihat pengiriman logistik via udara secara masif seperti saat tsunami, komponen cadangan negara tak dikerahkan maksimal untuk evakuasi korban, PLN hanya bekerja prosedural tanpa genset darurat, dan Pertamina baru menyalurkan BBM signifikan pada hari ke-10 pascabencana. Akibatnya, daerah-daerah terisolir sulit mendapat makanan, warga di perkotaan pun terjebak krisis BBM dan listrik yang melumpuhkan kegiatan ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan defensif menanggapi sorotan. Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto dalam sebuah pernyataan menyebut bencana di Aceh belum layak jadi bencana nasional dan situasinya “hanya mencekam di media sosial”. Ucapan ini mengundang amarah masyarakat Aceh, dianggap meremehkan penderitaan yang nyata mereka rasakan. Bendera putih yang dikibarkan warga secara tidak langsung menjadi sanggahan paling nyata atas narasi bahwa “semua terkendali”. Bagi warga, aksi ini adalah sinyal bahwa mereka tak tahan lagi menghadapi krisis pangan, kesehatan, dan akses yang melilit pascabencana.
Perspektif Budayawan, Kritik terhadap Empati Pemerintah
Herman RN, budayawan Aceh sekaligus akademisi Universitas Syiah Kuala, angkat bicara tajam menanggapi respon pemerintah pusat melalui Dialeksis (17/12/2025). Ia meluapkan kekecewaannya terutama terhadap pernyataan Kepala BNPB yang dinilainya tidak peka terhadap penderitaan Aceh. “Pernyataan itu keliru dan melukai masyarakat Aceh,” ujar Herman geram.
Menurutnya, seorang kepala BNPB semestinya menjadi sosok paling empatik di tengah bencana, “bukan justru meremehkan penderitaan warga. Ucapan seperti ini tidak pantas keluar dari pejabat penanggulangan bencana,” tegas Herman.
Herman melihat pemerintah pusat gagal mendapat gambaran utuh kondisi lapangan. Ia menilai pejabat di pusat terlalu mengandalkan laporan dari ibu kota provinsi saja. “Jangan hanya nonton medsos atau dengar laporan dari Banda Aceh. Coba turun ke Takengon kalau bisa. Sudah enam hari Aceh Tengah terisolasi total, jalan putus, bantuan cuma bisa lewat udara,” tutur Herman, mendesak BNPB turun langsung ke daerah terdampak paling parah.
Budayawan yang juga Ketua Dewan Kesenian Banda Aceh ini bahkan menantang Kepala BNPB menyusuri sendiri medan bencana: “Silakan datang ke Aceh Timur, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Selatan. Lihat sendiri kondisi masyarakat di sana. Bisakah beliau capai lokasi lewat darat? Sampai di sana, bisakah komunikasi dengan keluarganya? Coba rasakan dulu, baru bicara,” sindir Herman tajam.
Dari sudut pandang Herman RN sebagai pegiat budaya Aceh, situasi yang dihadapi rakyat Aceh saat ini jelas bukan kondisi normal. Ia mengingatkan pejabat pusat agar tidak melihat Aceh dari kacamata perkotaan semata di luar sana banyak daerah terpencil yang menderita dalam sunyi. Herman pun sejalan dengan aspirasi warga yang menuntut status bencana nasional.
Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan bencana nasional untuk Aceh, tanpa perlu menunggu rekomendasi BNPB. “Presiden harus segera tetapkan status bencana nasional. Masyarakat Aceh butuh negara hadir secara penuh, bukan komentar yang meremehkan penderitaan warga,” pintanya lantang. Baginya, inilah saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan nyata kepada Aceh, alih-alih defensif terhadap kritik. Pernyataan Herman RN ini mewakili suara hati nurani rakyat Aceh yang merasa penderitaan mereka kurang ditanggapi dengan empati dan aksi sigap.
Perspektif Antropolog: Makna Sosial di Balik Bendera Putih
Dari kacamata antropologis, fenomena warga Aceh mengibarkan bendera putih mencerminkan ekspresi sosial ekstrem di tengah situasi putus asa. Dr. Muhajir Al-Fairusy, M.A., antropolog dan dosen STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, menjelaskan bahwa simbol bendera putih memiliki dimensi semiotik dan psikososial yang mendalam. “Bendera putih itu tanda menyerah, tanda putus asa, tanda tidak ada harapan. Artinya, masyarakat betul-betul sudah surrender,” ujarnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Rabu (17/12/2024).
Dalam perspektif antropologi budaya Aceh, tindakan ini sangat menggetarkan karena secara historis orang Aceh dikenal pantang menyerah. “Secara budaya, Aceh itu punya sejarah perlawanan gigih. Mengibarkan bendera putih bukan hal sepele bagi kami,” imbuh Muhajir. Artinya, ketika komunitas Aceh yang tangguh secara kolektif mengangkat bendera putih, itu menunjukkan batas ketahanan sosial telah terlampaui.
Muhajir menilai bencana banjir bandang ini sebenarnya bukan murni “bencana alam tak terelakkan”, melainkan bencana ekologis yang dipicu ulah manusia. “Kita tahu persis ini bukan semata bencana alam. Ini timbul karena ulah manusia eksploitasi lingkungan dan model pembangunan yang abai risiko,” jelasnya.
Kerusakan hutan dan pegunungan yang parah di Aceh telah menghilangkan daya dukung alam. Akibatnya, saat hujan deras turun, terjadilah banjir bandang membawa lumpur yang menghancurkan permukiman terutama milik rakyat kecil. Dampak terberat bencana seperti ini, menurut Muhajir, justru menimpa kehidupan sosial komunitas. Bencana tidak hanya merusak lingkungan fisik, tapi juga memutus jalinan komunitas dan mata pencaharian warga.
“Dimensi psikososial menjadi beban paling berat pascabencana,” tuturnya, mengingat banyak keluarga kehilangan anggota, kehilangan rumah dan harta benda. Trauma dan ketidakpastian melanda, apalagi dengan minimnya akses bantuan dasar selama berminggu-minggu. Dalam situasi inilah, fenomena bendera putih muncul sebagai gambaran paling telanjang dari frustrasi sosial pascabencana.
Lebih lanjut, Muhajir mencermati bahwa frustrasi sosial masyarakat Aceh makin memuncak karena merasa diabaikan. Sikap penyangkalan dari pemerintah misal menyebut banjir ini biasa saja atau sekadar fenomena alam ditambah kecenderungan saling menyalahkan antarpejabat, melahirkan rasa ketidakadilan di tengah korban. Masyarakat lokal yang sejatinya tak banyak berkontribusi dalam perusakan lingkungan justru menjadi pihak paling menderita ketika bencana datang.
“Warga sudah menanggung beban kebencanaan yang berat, namun respons negara dirasa setengah hati. Ini melahirkan kemarahan dan putus asa kolektif,” paparnya. Dalam konteks inilah bendera putih dikibarkan sebagai sinyal jelas kondisi darurat yang seharusnya segera direspons. Bahkan, lanjut Muhajir, simbol tersebut merupakan panggilan kemanusiaan kepada dunia internasional agar Aceh tidak dibiarkan menghadapi bencana ini sendirian.
Secara filosofis, Muhajir sepakat bahwa bendera putih dalam konteks bencana bukanlah lambang kekalahan yang pasif. Sebaliknya, itu adalah seruan terakhir semacam alarm sunyi yang menandakan komunitas sudah melakukan segala yang mereka bisa dan kini nyawa manusia harus diutamakan di atas segalanya. “Bendera putih yang berkibar hari ini bukan simbol menyerah kepada alam, tapi simbol perlawanan terakhir terhadap kelalaian,” ujarnya mengutip pandangan seorang aktivis Aceh. Dengan kata lain, ini adalah jeritan moral: agar para pemangku kebijakan, dan siapa pun yang peduli, segera bergerak sebelum lebih banyak nyawa melayang.
Pengingat bagi Semua: Harapan di Balik Kepasrahan
Fenomena bendera putih di Aceh menurut Herman RN memberikan pelajaran berharga sekaligus teguran bagi semua pihak. Warga yang mengibarkan bendera putih sejatinya masih menyimpan secercah harapan harapan bahwa dengan sinyal tersebut, penderitaan mereka akan terlihat dan tertolong. Di tengah keterbatasan, masyarakat Aceh tetap berupaya menunjukkan ketangguhan melalui solidaritas lokal. Mereka mendirikan dapur - dapur umum seadanya, saling berbagi apa yang tersisa, dan tidak jarang menolong tetangga sebelum bantuan resmi tiba. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa gotong royong rakyat tidak boleh dijadikan alasan bagi negara untuk lepas tangan. Bendera putih yang berkibar harus dilihat sebagai pengingat bahwa dalam situasi bencana, kecepatan dan kepedulian adalah bentuk tertinggi dari keadilan sosial.
Seperti diungkap dalam salah satu tajuk media lokal, air mata korban banjir Aceh adalah peringatan keras. Jika jeritan sunyi mereka melalui bendera putih ini tetap diabaikan, “maka esok alam akan berbicara dengan cara yang lebih kejam”. Tragedi ini menurut Dr Muhajir menuntut aksi nyata dan keberpihakan dari pemangku kekuasaan. Bagi penyintas bencana di Aceh, mereka “tidak butuh janji, tapi butuh keberpihakan”. Keberpihakan itu berarti mempercepat segala bentuk bantuan dan pemulihan: menetapkan status bencana nasional bila diperlukan, membuka akses seluas-luasnya bagi bantuan internasional, memperbaiki tata kelola lingkungan jangka panjang, dan memastikan hal serupa tak lagi terulang di masa depan.
Harapan masyarakat Aceh masih menggantung pada janur putih yang melambai di depan rumah-rumah roboh mereka. Janur putih itu yang biasanya hanya terlihat di acara takziah atau sebagai tanda duka kali ini menjadi bendera harapan. Harapan bahwa penderitaan mereka tidak akan dibiarkan sia-sia, bahwa akan ada tangan-tangan yang datang menolong sebelum semuanya terlambat.
Fenomena bendera putih Aceh adalah sebuah catatan sejarah kelam, tetapi juga undangan bagi kita semua untuk menunjukkan empati dan kemanusiaan. Aceh pernah bangkit dari duka tsunami 2004 berkat solidaritas nasional dan dunia; kini, Aceh kembali mengulurkan tangan memohon pertolongan. Sudah selayaknya “bendera putih” itu tidak ditafsirkan sebagai akhir, melainkan awal dari perhatian yang lebih besar untuk menyelamatkan saudara-saudara kita di Serambi Mekah. [arn]