DIALEKSIS.COM | Gayahidup - Shalat, menurut Imam Al-Ghazali, bukan sekadar rangkaian gerak dan bacaan; ia adalah cermin keadaan hati. Di tengah arus kehidupan modern yang dipenuhi gangguan dan ritme serba cepat, warisan pemikiran Al-Ghazali memberi peta praktis bukan dogma untuk mengembalikan shalat ke fungsinya sebagai pertemuan batin antara hamba dan Pencipta.
Imam Al-Ghazali, tokoh besar tasawuf dan fiqh yang paling dikenal lewat karya Ihya’ Ulum ad-Din, menempatkan kualitas batin sebagai kriteria utama keberterimaan ibadah. Bagi dia, hadirnya hati (khusyū’) dan niat yang ikhlas jauh lebih bernilai ketimbang sekadar kesempurnaan gerakan lahiriah. Dalam konteks itu, shalat menjadi media transformasi moral bukan rutinitas ritual semata.
Al-Ghazali mengingatkan bahwa niat adalah poros setiap amal. Tanpa niat yang jernih, ritual mudah terkikis maknanya dan berubah menjadi kebiasaan sosial. Praktisnya, setiap orang dianjurkan memeriksa kembali motivasi sebelum takbir yakni apakah untuk memenuhi tuntutan komunitas, atau semata mencari ridha Allah? Kualitas shalat dimulai dari kejujuran niat yang menghadirkan kesungguhan.
Khusyū’ keheningan dan keterpusatan batin menjadi roh shalat menurut Al-Ghazali. Ia menganjurkan upaya - upaya konkret untuk menenangkan pikiran sebelum shalat seperti memelihara wudhu sebagai ritus pembuka, menyingkirkan gangguan, dan sesaat berkontemplasi atas makna bacaan yang akan dilafalkan. Hanya ketika hati hadir, kata-kata dalam doa berubah dari bunyi menjadi makna yang menggerakkan.
Bagi Al-Ghazali, pemahaman terhadap ayat dan doa yang dibaca memperkaya pengalaman spiritual. Membaca tanpa tafsir hanya mengulang bunyi. Maka, menelaah arti-arti singkat surah yang sering dibaca atau merenungkan makna zikir menjadi praktik yang direkomendasikan agar shalat menjadi dialog yang berisi.
Shalat yang bermakna, menurutnya, tak terlepas dari tazkiyah al-nafs pembersihan hati dari sifat tercela seperti dengki, sombong, dan kebencian. Proses tarbiyah diri ini bukan sekadar etika personal, melainkan prasyarat menerima ilmu dan rahmat yang dicari lewat ibadah. Dengan kata lain, pembenahan jiwa memperbesar kemungkinan shalat berbuah perubahan moral.
Al-Ghazali juga menekankan adab lahiriah: memilih tempat bersih, menata gerakan dengan khidmat, serta menyingkirkan gangguan selama shalat. Adab-adab ini bukan ritual kosong mereka membangun suasana yang membantu hati berkonsentrasi.
Di era digital, godaan gangguan makin nyata perangkat yang terus menyita perhatian, ritme kerja yang memadatkan waktu, dan budaya serba instan. Menyikapi itu, warisan Al-Ghazali bisa diterjemahkan ke langkah sederhana namun efektif dimulai dari matikan ponsel sejenak sebelum shalat, luangkan waktu hening singkat untuk menata niat, pelajari terjemahan singkat surat-surat yang sering dibaca, dan biasakan tadabbur setelah sujud terakhir.
Lebih dari pengalaman batin pribadi, shalat yang khusyū’ berimplikasi sosial. Individu yang terbentuk dari ibadah yang mendalam cenderung menampilkan karakter sabar, adil, dan empatik sifat yang merawat kualitas relasi keluarga dan masyarakat. Dalam perspektif Al-Ghazali, perbaikan pribadi lewat shalat adalah salah satu fondasi perubahan sosial yang berkelanjutan.
Inti pelajaran Al-Ghazali sederhana tetapi tegas: memperbaiki teknik tidak cukup; yang utama adalah merawat hati memurnikan niat, menghadirkan khusyū’, dan memahami makna bacaan. Ketika shalat kembali menjadi pertemuan batin yang jujur, ia tidak hanya menata relasi manusia kepada Tuhan, tapi juga meresap ke dalam tindakan sehari-hari.