DIALELKSIS.COM | Aceh - Dalam jagat parfum global, wacana penggunaan ganja sebagai bahan campuran mulai menyeruak. Ide itu muncul seiring tren wellness dan aromatherapy yang kian populer. Di Indonesia, wacana ini langsung bersentuhan dengan minyak nilam atau patchouli oil - si “emas hijau” yang sejak lama jadi primadona ekspor dan bahan baku parfum dunia.
Aroma patchouli punya tempat istimewa di kalangan komunitas stoners, komunitas yang lekat dengan ganja di berbagai belahan dunia. Sejak era hippie tahun 1960 - an, wangi pekat dan earthy nilam bukan sekadar simbol relaksasi. Ia juga dikenal sebagai penanda budaya tandingan, sekaligus penyamar aroma ganja yang khas dan membandel. Hingga kini, aroma patchouli tetap melekat sebagai simbol kebebasan dan ketenangan batin.
Di luar nilai kultural, patchouli punya rekam jejak ilmiah yang solid. Menurut data USDA/NIFA, patchouli alcohol senyawa utama minyak nilam terbukti bersifat antibakteri, antijamur, antiinflamasi, hingga antivirus influenza. Publikasi di PubMed Central juga menyebut ekstrak patchouli efektif mengatasi infeksi kulit dan mempercepat penyembuhan luka.
Dengan reputasi itu, ide menggabungkan ganja dengan patchouli dalam dunia parfum terdengar menggoda. Dialeksis kemudian berbincang dengan Dr. Ir. Syaifullah Muhammad, ST, M.Eng, Kepala Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala (USK) yang juga dikenal sebagai ahli parfum.
Menurut Syaifullah, secara teknologi, pencampuran ganja dengan patchouli sangat mungkin dilakukan. Namun regulasi di Indonesia belum memberi ruang.
“Beberapa parfum ada yang dibranding dengan CBD oil. Tapi masih diragukan apakah benar memakai minyak ganja. Banyak yang sebenarnya menggunakan senyawa fitokimia dari tanaman lain, lalu diklaim berasal dari CBD,” ujarnya kepada Dialeksis.
Dari sisi teknis, kata Syaifullah, patchouli justru lebih unggul. Titik didih nilam mencapai 287°C, jauh di atas CBD oil yang hanya 160 - 180°C.
“Artinya, dari segi ketahanan aroma, nilam jauh lebih baik. CBD oil sendiri hampir tidak punya aroma kuat, sehingga kurang cocok sebagai parfum,” jelasnya.
Namun ia mengakui, alasan sebagian parfum internasional mengklaim CBD oil kemungkinan lebih pada efek terapeutik. “CBD punya sifat antidepresan, memberi efek menenangkan. Jadi kalau digunakan, lebih pada aspek aromaterapi,” katanya.
Lalu bagaimana jika ganja benar-benar digunakan sebagai bahan parfum? Menurut Syaifullah, hal itu perlu riset lebih jauh. “Penambahan CBD oil bisa memberi dampak aromaterapi yang lebih kuat. Tapi kadar THC (tetrahydrocannabinol) harus benar-benar dikontrol. THC adalah senyawa psikotropika berbahaya walau dalam konsentrasi rendah,” tegasnya.
Sayangnya, penelitian di Indonesia sulit dilakukan karena ganja masuk kategori terlarang. Padahal, di sejumlah negara lain, riset medis maupun aromaterapi dengan ganja sudah mulai berkembang.
Di akhir wawancara, Syaifullah dosen Fakultas Teknik USK ini menyampaikan harapan. Menurutnya, akan sangat baik bila pemerintah membuka ruang penelitian ganja, baik untuk obat medis, aromaterapi, maupun parfum. “Jika diteliti oleh lembaga resmi seperti perguruan tinggi, dampak positif dan negatifnya bisa terukur dengan baik. Pengetahuan akan berkembang, dan masyarakat juga mendapat manfaat,” ujarnya.
Untuk saat ini, nilam masih berdiri kokoh sebagai juara. Namun, siapa tahu suatu saat kelak, parfum dengan kombinasi patchouli dan ganja benar-benar lahir dari laboratorium.