DIALEKSIS.COM | Aceh - Muhammad Iqbal Selian, pemerhati lingkungan dan mantan Setpel JKMA Aceh Tenggara, memberikan refleksi akhir tahunnya tentang lingkungan.
Refleksi Akhir Tahun
Oleh: Muhammad Iqbal Selian
Hutan Lindung yang Tak Dilindungi, Tsunami Kedua Menghantam Sumatra: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Sumatra kembali menangis.
Bukan hanya karena gelombang laut yang datang tanpa ampun,
tetapi karena gelombang keserakahan yang telah lama kita biarkan tumbuh.
Hutan yang seharusnya menjadi benteng terakhir kehidupan,
yang disebut hutan lindung,
perlahan dilucuti maknanya.
Pohon-pohon ditebang, tanah dikeruk,
akar yang dulu menahan air kini hilang,
menyisakan luka menganga di tubuh alam.
Ketika tsunami pertama datang, kita berkata:
“Ini bencana alam.”
Namun ketika tsunami kedua menghantam --
banjir bandang, longsor, abrasi, kehancuran yang berulang --
masih pantaskah kita hanya menyalahkan alam?
Atau justru kitalah bencana itu?
Hutan yang rusak tak lagi mampu menahan amarah bumi.
Gunung yang gundul tak bisa memeluk hujan.
Pantai yang dipreteli tak sanggup meredam gelombang.
Dan rakyat kecil kembali menjadi korban --
kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian,
bahkan kehilangan nyawa.
Pertanyaannya sederhana, namun menyakitkan:
siapa yang bertanggung jawab?
Apakah alam?
Ataukah kebijakan yang mudah ditandatangani?
Izin yang dikeluarkan tanpa nurani?
Pengawasan yang longgar?
Atau pembiaran yang disengaja demi keuntungan sesaat?
Hutan lindung tak rusak dengan sendirinya.
Ia dirusak.
Dan setiap kerusakan selalu punya jejak tangan manusia.
Jika hutan benar-benar dilindungi,
mungkin air tak akan seganas ini.
Jika alam dihormati,
mungkin Sumatra tak harus terus berkabung.
Tsunami kedua ini bukan sekadar gelombang air,
melainkan peringatan keras:
bahwa ketika kita berhenti melindungi alam,
alam akan berhenti melindungi kita.
Sudah saatnya kita berhenti pura-pura terkejut,
berhenti berduka hanya saat bencana datang,
dan mulai bertanya dengan jujur:
apakah kita masih layak menyebut hutan itu “lindung”?
Karena jika tidak ada yang berani bertanggung jawab hari ini,
maka esok,
Sumatra -- dan kita semua --
akan kembali membayar harga yang jauh lebih mahal. [**]