Senin, 27 Oktober 2025
Beranda / Celoteh Warga / Obituari Syamsulrizal II: Leaderhip yang Friendly

Obituari Syamsulrizal II: Leaderhip yang Friendly

Minggu, 26 Oktober 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Herman

DIALEKSIS.COM | Aceh - Innalillahi wainnailaihirajiun...

Kabar duka itu datang seperti guntur di pagi hari. Diawali sebuah pertanyan sederhana dari Ketua Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP USK melalui telepon.

“Alamat rumah Pak Dekan di mana? Lewat mana enak masuknya?” ujar suara itu.

“Acara apa di rumah Pak Dekan?” tanyaku polos.

“Pak Dekan udah meninggal. Gak baca grup ya?” suara Kadep PBI balas bertanya.

Spontan kumatikan telepon setelah memberi tahu alamat rumah Syamsulrizal di Lamteungoh, Sibreh. Saat membuka grup WhatsApp, ternyata sudah ada beberapa panggilan tak terjawab dan pesan pribadi. Bahkan, mantan Dekan FKIP Untirta Banten pun turut menelepon dan mengirim pesan WA. Semua bertanya tentang kepergian Syamsulrizal, sang Dekan FKIP USK.

Sungguh, terlalu sulit melukiskan kesedihan ini. Sehari sebelumnya, kami (saya dan Pak Syamsul) masih bertegur sapa, bertukar senyum, dan berbagi cerita. Kami duduk di bawah pohon mangga depan pos satpam FKIP. Meski tidak begitu lama, kami sempat berkisah tentang cita-cita dirinya ingin membawa USK cemerlang di internal dan unggul di mata internasional.

Syamsulrizal memang sudah mendaftar sebagai bakal calon Rektor USK. Dirinya sengaja mendaftar di hari terakhir, setelah semua bakal calon lainnya mendaftar terlebih dahulu.

Di saat masih berkecamuk dengan rasa tak percaya atas kepergiannya, sebuah pesan WA kembali masuk di ponselku. “Sedih kali ya. Meskipun Pak Herman nakal dan sering protes, tapi dirimu paling disayang sama Pak Dekan.”

Tak sengaja, air mataku tumpah. Namun, aku tetap berusaha menahan diri. Kusiapkan langkah, melayat ke rumah duka. Di sana kulihat sudah banyak sosok yang selama ini menjadi teman ngopi Syamsulrizal. Kusalami beberapa orang. Lalu, aku masuk ke dalam rumah. 

Di tengah kerumunan ibu-ibu, sosok itu terbujur. Aku berdiri di bagian kepala sebelah kanan. Berusaha menatap wajah polos yang seperti bukan orang meninggal, melainkan wajah istirahat, selayaknya orang tidur karena lelah. Di saat itulah aku mulai tak mampu menguasai air mata. Sesak dan sebak di dada.

Aku bergegas ke luar, mencari tempat sepi. Aku berdiri di samping pagar pinggir jalan. Saat membalikkan badan, kulihat sosok Prof. Bahrun, guru besar FKIP yang selama ini menjadi teman Pak Syamsul di meja kopi. Antara sadar dan tidak, aku menghambur ke sosok lelaki tua itu. Kupeluk ia erat-erat sambil meraung. Saat itu aku sudah tak kuasa lagi menahan sesak di dada. Aku menjerit dan menangis di Pundak Prof. Bahrun. Kulihat ia juga begitu.

Entah mengapa, kepergian Syamsulrizal laksana kehilangan yang bergitu berat bagiku. Aku seperti kehilangan sosok ayah. Di sisi lain, aku juga seperti kehilangan seorang sahabat. Sungguh, sangat sulit kulukiskan rasa ini. 

Aku belum begitu lama mengenal sosoknya. Syamsulrizal mulai kukenal setelah dirinya selesai purnatugas sebagai Wakil Bupati Aceh Besar. Saat ia kembali ke kampus Universitas Syiah Kuala dan bertugas sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unsyiah tahun 2018 lalu, saat itulah aku mulai kenal dirinya.

Entah dari mana ia dapat informasi tentang diriku, beberapa kali ia minta aku menjadi editor atau membaca kembali laporan LPPM USK. Selanjutnya, setelah dirinya terpilih sebagai Dekan FKIP USK (sejak tahun 2021), ia langsung meminta agar aku membantu publikasi setiap kegiatan fakultas. Ia berikan aku satu ruang khusus di lantai dua, ruang untuk melatih keterampilan jurnalistik mahasiswa FKIP.

Setiap ada kegiatan Rektor USK di FKIP, aku selalu diikutsertakannya. Ia pula yang membuat hubunganku dengan Pak Rektor menjadi dekat. Bahkan, saat aku butuh bantuan rektor atau pimpinan lainnya di tingkat universitas, sering Pak Syamsul mendorongku melangkah sendiri dengan ucapan, “Droen peutroh saban lage lon peutroh cit. Jak laju.”

Mulanya, kupikir ia tak mau membantu. Ternyata ia membantuku dari belakang, tak ingin aku tahu. Mungkin takut aku manja. Saat itulah aku sadar, aku sedang dilatih oleh seorang Syamsulrizal agar mandiri, agar aku berani, agar aku jangan suka bergelayut pada orang lain.

Pernah suatu ketika, aku menyindir di WA grup FKIP, tentang panitia penerimaan PPG. Dua hari kemudian, aku mendapat telpon dari pengelola PPG. “Pak Herman, ada daftar hadir yang harus ditandatangani di PPG. Tolong ke PPG ya. Ini arahan Pak Dekan.”

Di lain waktu, aku melapor melalui WA tentang SPP S3 yang sedang kujalani terlalu mahal. Di hari itu juga aku langsung mendapat telepon dari Wakil Dekan II, bahwa SPP diriku sudah diubah di sistem. Saat kulihat, sudah ada diskon SPP. Aku tahu, saat itu, seluruh pimpinan fakultas dan pimpinan universitas sedang Rapat Kerja di Takengon. Namun, Syamsulrizal selalu punya solusi.

Dalam kesempatan lain, aku melapor pada beliau kalau Prodi PBI butuh printer. Dua hari kemudian, prodi kami sudah dapat printer baru. Tahun ini, aku melapor prodi kami butuh proyektor baru. Sore harinya, proyektor baru sudah diantar oleh petugas. Bahkan, di saat aku melapor jaringan wifi di prodi PBI lambat, Pak Syamsul langsung menugaskan wakil dekan untuk membawa teknisi memperbaiki jaringan internert di tempat kami.

Sungguh, aku seperti dimanja. Tak salah jika beberapa kolega dosen FKIP berkata dengan nada cemburu, “Meunyo Herman lake, lam meunet lansong na. Meunyo kamoe nyang lake, meuteume cit, tapi payah preh ilee.”

Teringat pula saat pertemuan sela Forum Komunikasi (FORKOM) Pimpinan FKIP Negeri se-Indonesia di Aceh dua tahun lalu. Atas instruksi Syamsulrizal, aku dipercaya sebagai koordinator publikasi dan dokumentasi. Semua kebutuhanku tinggal lapor Wakil Dekan III sesuai arahan Pak Dekan. Saat itu, aku seperti sedang mendapatkan outbond leadership dari Pak Syamsul. Betapa tidak, aku sedang berhadapan dengan seluruh dekan dan wakil dekan FKIP PTN seluruh Indonesia.

Hal lain yang tak mampu kulukiskan, bahwa sosok Syamsulrizal tak pernah membantah meskipun pada bawahannya. Beberapa kali aku memberikan saran dan masukan, ia senantiasa mendengar dengan saksama. Bahkan, gagasan yang kusampaikan sering ia pertegas kembali tanda setuju. Hal ini seperti ini yang belum pernah kudapatkan dari pimpinanku yang lain, sejak aku mengenal dunia kerja, baik sebagai dosen maupun saat menjadi wartawan dulu.

Sungguh, tak pernah cukup kata untuk melukiskan keteladanan dari Syamsulrizal. Tak pernah cukup kalimat untuk menggambarkan persahabatan dari sosok mantan Wakil Bupati Aceh Besar ini. Bahkan, di saat ada pertanyaan wartawan pada dirinya, ia sering meminta pendapat dariku. Tak terkecuali, ia berikan Hp-nya padaku sambil berucap, “Tolong berikan jawaban pada wartawan ini. Ketik saja di Hp ini langsung, lalu kirim ke wartawan. Jawaban Herman sama dengan jawabanku.”

Kepercayaan seperti ini sangat langka kudapatkan. Karena itulah, aku merasa kehilangan sosok Syamsulrizal. Aku kehilangan pimpinan tempat aku memungut teladan. Aku kehilangan sosok sahabat tempat aku menyandarkan keluh kesah. Aku kehilangan sosok kakanda, tempat aku bertukar cerita.

Damailah di pembaringan terakhirmu wahai guruku, seniorku, pimpinanku, sahabatku. Aku bersaksi, dirimu adalah hamba yang salih, taat beragama, dan baik untuk semua.

Herman RN”Dosen FKIP USK

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI