DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh mengatakan bahwa munculnya kembali pembahasan dan dugaan aktivitas ajaran Millah Abraham di sejumlah wilayah sangat meresahkan masyarakat serta bertentangan dengan regulasi yang berlaku di Aceh.
Hal ini disampaikan Ketua FKUB Aceh, H. Abdul Hamid Zein, SH., M.Hum kepada media dialeksis.com, Senin, 17 November 2025, menanggapi isu berkembangnya kembali aliran tersebut di Aceh Utara dan Bireuen.
Menurutnya, masyarakat Aceh sudah memiliki pengalaman buruk terkait penyebaran ajaran Millah Abraham pada masa lalu, khususnya di Aceh Besar dan Banda Aceh, sehingga kekhawatiran publik saat ini sangat beralasan.
H. Abdul Hamid Zein menegaskan bahwa ajaran Millah Abraham bukan hal baru di Aceh, dan keberadaannya telah dinyatakan sesat oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
“Aliran tersebut sudah difatwakan oleh MPU sebagai aliran sesat. Dulu sempat berkembang di Aceh Besar dan Banda Aceh dan sudah dilarang. Pemerintah Aceh juga telah melarang aktivitas mereka berdasarkan Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah. Selain itu, Pergub Aceh Nomor 9 Tahun 2011 juga secara khusus mengatur larangan kegiatan Millata Abraham,” ujarnya.
Ia menambahkan, MPU Aceh pada 22 Januari 2015 bahkan menetapkan ajaran Gafatar yang diyakini berkaitan langsung dengan Millah Abraham sebagai sesat dan menyesatkan.
Ketua FKUB Aceh mengungkapkan bahwa pihaknya telah memperoleh laporan serta melakukan verifikasi lapangan terkait munculnya kembali aktivitas aliran tersebut di Aceh Utara dan Lhokseumawe.
“Kasus baru ini memang benar terdeteksi. Saat konsultasi langsung dengan MPU Aceh Utara sekitar satu bulan lalu di Lhoksukon, mereka membenarkan perkembangan aliran tersebut. MPU meminta agar aparat penegak hukum menjatuhi hukuman seberat-beratnya, karena ajaran ini berpotensi merusak aqidah dan melanggar regulasi yang ada,” jelasnya.
Ketika ditanya apakah ajaran Millah Abraham berpotensi mengganggu harmoni dan kerukunan umat beragama, Ketua FKUB Aceh menegaskan bahwa aliran sesat apa pun dapat membawa dampak serius terhadap stabilitas sosial dan keagamaan.
“Menurut hemat kami, dampak aliran sesat sangat merugikan bagi masyarakat, agama, dan NKRI. Pemerintah wajib mengambil tindakan tegas sesuai peraturan perundang-undangan nasional maupun lokal,” tegasnya.
Ia menjelaskan sejumlah dampak yang dapat muncul akibat berkembangnya aliran sesat, seperti, merusak sendi kehidupan masyarakat dan tatanan keagamaan. Mengancam aqidah dan syariah umat Islam. Mengganggu stabilitas politik dan keutuhan NKRI.
Selain itu, memicu perilaku ekstrem dan kriminalitas karena adanya pemaksaan ajaran. Merusak kondisi mental serta psikologis para pengikutnya dan menyebabkan hilangnya nalar dan kemampuan berpikir rasional akibat doktrin kuat yang diberikan.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa aliran sesat dapat memicu disharmoni antarkelompok masyarakat jika tidak ditangani secara bijak dan tegas.
“Penafsiran yang berbeda, praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan norma masyarakat, dan potensi konflik keyakinan dapat menimbulkan ketegangan serta ketidakpercayaan antarumat beragama,” jelasnya.
H. Abdul Hamid Zein mengajak pemerintah daerah, aparat penegak hukum, ulama, dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga Aceh dari paham-paham yang dapat merusak aqidah dan mengganggu kerukunan.
“FKUB Aceh mendukung penuh langkah tegas pemerintah dan aparat hukum. Kita harus menjaga akidah umat, merawat kerukunan, dan memastikan Aceh tetap berada dalam bingkai syariat, kedamaian, serta semangat harmoni antarumat beragama,” tutupnya.
Sebelumnya, Tim Terpadu Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Pemerintah Aceh kembali menemukan indikasi munculnya aktivitas jaringan Millah Abraham di sejumlah daerah.
Temuan ini diperoleh melalui pemantauan lapangan pada 10“11 November 2025 di Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara, yang menunjukkan bahwa pola gerakan kelompok tersebut kini semakin senyap, terstruktur, dan memanfaatkan ruang digital.
Di Gampong Samuti Rayeuk, Kecamatan Gandapura, Bireuen, tim menemukan aktivitas mencurigakan dari seorang pria bernama Harun Ar Rasyid (60) dan anaknya Mercusuar (27), yang diduga bagian dari struktur inti jaringan Millah Abraham di Aceh. Keduanya tinggal di rumah sewa sederhana dan dikenal sangat tertutup oleh warga.
Geuchik Samuti Rayeuk, Muntasir, menyebut Harun tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat. “Dia tidak pernah ikut kegiatan sosial, anak-anaknya pun belajar di rumah secara online,” ujarnya.
Dalam pemeriksaan, petugas menyita tiga unit laptop serta jaringan Wi-Fi yang diduga digunakan untuk koordinasi dan penyebaran ajaran. Informasi awal menyebutkan bahwa peserta pertemuan kelompok ini menerima uang saku sebesar Rp300.000. Meski jumlah pengikutnya di Aceh kecil, secara nasional jaringan ini disebut telah berkembang hingga ribuan anggota.
Pemantauan juga dilakukan di Aceh Utara. Seorang pria bernama Nazari A. Djalil teridentifikasi masih aktif mempertahankan ajaran Millah Abraham. Menurut Plt. Kabid Wasnas Kesbangpol Aceh Utara, Hery Sofia Darma, Nazari dikenal keras kepala dan pernah menantang staf KUA Tanah Jambo Aye saat diberikan pembinaan.
Nazari bahkan pernah diamankan bersama beberapa pengikutnya di teras Masjid Al-Hanafiah, namun tetap menolak bertobat. Saat ini keluarga Nazari masih berada dalam pengawasan aparat dan perangkat gampong. Situasi wilayah dilaporkan tetap kondusif, meski warga meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran ajaran tersebut.