DIALEKSIS.COM | Aceh - Tim Terpadu Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Pemerintah Aceh kembali menemukan indikasi kebangkitan aktivitas jaringan Millah Abraham di sejumlah daerah. Temuan ini muncul dari serangkaian pemantauan lapangan pada 10-11 November 2025 di Bireuen dan Aceh Utara, yang menunjukkan pola gerakan kelompok tersebut kini semakin senyap, terstruktur, dan memanfaatkan ruang digital.
Di Gampong Samuti Rayeuk, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, tim menemukan aktivitas seorang pria bernama Harun Ar Rasyid (60) bersama anaknya, Mercusuar (27), yang diduga kuat menjadi bagian dari struktur inti Millah Abraham di Aceh. Keduanya tinggal di rumah sewa sederhana dan dikenal sangat tertutup oleh warga sekitar.
Geuchik Samuti Rayeuk, Muntasir, menuturkan bahwa Harun hampir tidak pernah bersosialisasi.
“Dia tidak pernah ikut kegiatan sosial. Hidupnya tertutup, anak-anaknya pun belajar di rumah secara online,” ujarnya kepada Timdu.
Dalam pemeriksaan, petugas menemukan tiga unit laptop dan jaringan Wi-Fi yang diduga digunakan untuk aktivitas koordinasi dan penyebaran ajaran. Informasi awal menyebutkan bahwa anggota yang menghadiri pertemuan rutin menerima uang saku sebesar Rp300.000. Meskipun di Aceh pengikutnya relatif kecil, secara nasional kelompok ini disebut berkembang hingga ribuan anggota.
Pemantauan berlanjut ke Kabupaten Aceh Utara, di mana seorang pria bernama Nazari A. Djalil disebut aktif mempertahankan ajaran Millah Abraham. Menurut Plt. Kabid Wasnas Kesbangpol Aceh Utara, Hery Sofia Darma, S.Sos., M.A.P., Nazari dikenal keras kepala dan kerap menantang dalam diskusi keagamaan.
“Salah satu staf di KUA Tanah Jambo Aye pernah melakukan pembinaan, tapi Nazari malah menantang berdebat soal tauhid,” ujar Hery.
Nazari sempat diamankan bersama beberapa pengikutnya di teras Masjid Al-Hanafiah masjid milik keluarga pengusaha setempat. Meski diberi pembinaan, ia tetap menolak bertobat dari ajaran tersebut. Saat ini keluarganya masih diawasi aparat dan perangkat gampong. Situasi tetap kondusif meski warga meningkatkan kewaspadaan.
Menanggapi temuan terbaru ini Dialeksis menghubungi, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali, menyampaikan keprihatinan sekaligus penegasan bahwa Millah Abraham adalah ancaman serius bagi akidah umat.
Beliau menyatakan bahwa Millah Abraham bukan sekadar kelompok berbeda pandangan, tetapi gerakan yang secara sistematis merusak dasar-dasar keislaman.
“Ajaran Millah Abraham bukan hanya sesat, tetapi berbahaya karena mengubah pokok-pokok syariat. Mereka mengotak-atik syahadat, menolak rukun Islam, dan tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi. Ini bukan penyimpangan kecil, ini perusakan akidah umat, ” tegas Tgk. Faisal Ali.
Ia menambahkan bahwa perkembangan kelompok ini yang bergerak secara digital harus menjadi perhatian baru semua pihak.
“Dulu mereka berdakwah secara terbuka, sekarang mereka masuk lewat ruang privat, lewat grup-grup online, dan pendekatan personal. Cara seperti ini lebih sulit dideteksi dan lebih mudah menjerat masyarakat yang kurang pemahaman agama,” ujarnya.
Tgk. Faisal Ali juga menegaskan bahwa Aceh memiliki tanggung jawab moral dan syariat untuk menjaga kemurnian akidah.
“Aceh adalah Serambi Mekkah. Kita punya warisan ulama yang kuat. Jangan sampai ruang-ruang syariat diremehkan oleh kelompok yang membawa keyakinan palsu dan menyesatkan.”
Millah Abraham merupakan metamorfosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah, kelompok yang dipimpin Ahmad Mushaddeq pada 2007. Kelompok ini menggabungkan unsur Islam, Kristen, dan Yahudi sembari mengklaim adanya “nabi baru” setelah Nabi Muhammad SAW. MPU Aceh dan MUI pusat sejak lama menyatakan kelompok ini sesat.
Namun kini, ancaman tersebut bukan hanya dari sisi doktrin, tetapi juga dari pola penyebaran yang makin rapi dan tertutup. Model perekrutan berbasis digital, relasi personal, dan sistem insentif finansial membuatnya lebih adaptif dan sulit dilacak.
Untuk menghadapi kondisi ini Tgk. Faisal Ali memberikan beberapa masukan untuk Timdu Pengawasan Ormas menekankan perlunya strategi kolaboratif, meliputi keberadaan ulama harus menjadi garda depan dalam edukasi masyarakat, bukan hanya aparat, kolaborasi antara aparat, perangkat gampong, KUA, dan tokoh masyarakat penting untuk deteksi cepat, propaganda online harus dilawan dengan pengetahuan dan keterampilan menghadapi informasi menyesatkan, dan penanganan harus mengutamakan pembinaan, bukan sekadar penindakan.
Selain itu, para ulama dan aparat juga menyoroti pentingnya memperkuat pageu gampong sebagai benteng pertama melawan penyebaran ajaran menyimpang. Pageu gampong sistem kewaspadaan berbasis komunitas yang melibatkan perangkat desa, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat dipandang sangat efektif untuk mendeteksi dini aktivitas mencurigakan di tingkat paling bawah. Dengan mengaktifkan kembali fungsi musyawarah gampong, memperkuat peran tuha peut, imam gampong, serta meningkatkan komunikasi antara warga dan aparat, desa dapat mencegah infiltrasi ideologi sesat sebelum berkembang lebih jauh.
“Penguatan pageu gampong juga dinilai krusial mengingat pola gerakan Millah Abraham kini semakin tertutup dan memanfaatkan ruang digital. Warga yang memiliki pemahaman agama kuat dan relasi sosial yang solid di tingkat gampong akan lebih mudah mengenali gejala penyimpangan. Selain itu, pendekatan sosial yang berbasis kekerabatan dan kedekatan lokal diyakini lebih efektif dalam upaya pembinaan dibandingkan penindakan semata,” jelas Lem Faisal Pimpinan Dayah Mahyal 'Ulum Al-Aziziyah.
Tgk. Faisal Ali menegaskan kembalinya aktivitas Millah Abraham di Aceh menunjukkan bahwa ancaman ideologis dapat muncul dalam bentuk baru dan memanfaatkan celah yang tidak terlihat. Dengan sikap tegas MPU Aceh, pengawasan terpadu pemerintah, serta kewaspadaan masyarakat, Aceh diharapkan tetap mampu menjaga kemurnian akidah dan stabilitas sosialnya.
“Kita tidak boleh lengah. Menjaga akidah adalah bagian dari menjaga marwah Aceh dan masa depan generasi kita,” pungkasnya. [arn]