Senin, 15 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Lambatnya Penanganan Bencana di Aceh Dinilai Berisiko Picu Ideologi Perlawanan

Lambatnya Penanganan Bencana di Aceh Dinilai Berisiko Picu Ideologi Perlawanan

Minggu, 14 Desember 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Sekretaris Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Aceh, Dr. Rahmad Syah Putra, M.Pd., M.Ag. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sekretaris Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PW ISNU) Aceh, Dr. Rahmad Syah Putra, M.Pd., M.Ag., mengingatkan pemerintah pusat agar tidak memandang remeh penanganan bencana di Aceh

Ia menegaskan, penanganan yang lambat dan tidak tepat berpotensi memunculkan kembali kekecewaan mendalam di tengah masyarakat. Menurutnya, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa kondisi tersebut dapat memicu berkembangnya ideologi perlawanan terhadap Indonesia, sesuatu yang tidak boleh terulang. 

Ia meminta pemerintah pusat benar-benar memahami sensitivitas Aceh dan memastikan respons yang cepat di lapangan.

"Bencana di Aceh jika tidak ditangani dengan tepat dan cepat akan menghidupkan ideologi perlawanan kepada Indonesia. Jangan sampai ini terjadi lagi. Pusat harus paham, jangan sampai kekecewaan itu muncul kembali,” ungkapnya dalam keterangan tertulis kepada Dialeksis, Minggu (14/12/2025).

Rahmad menyebut setiap kunjungan Presiden Prabowo Subianto selalu diiringi komitmen pemulihan infrastruktur, penyediaan bantuan darurat, serta percepatan rehabilitasi. 

Namun hingga saat ini, ISNU Aceh menilai sebagian besar janji tersebut masih berada pada tataran rencana strategis dan belum sepenuhnya dirasakan dampaknya oleh masyarakat terdampak, khususnya di sektor dasar seperti listrik, air bersih, dan distribusi logistik.

Hingga kini, beberapa kawasan masih sulit diakses karena jalan utama terputus, sehingga bantuan sulit menjangkau lokasi terdampak.

ISNU Aceh juga mencatat sejumlah kendala serius di lapangan. Sejak 26 November 2025, banyak gampong di wilayah bencana masih belum dialiri listrik. Sumber air bersih warga terancam karena sumur tertimbun lumpur, meningkatkan risiko penyakit menular. 

Kebutuhan logistik pun tidak hanya terbatas pada makanan, tetapi juga mencakup obat-obatan, pembalut wanita, popok bayi, dan perlengkapan sanitasi. Selain itu, tingginya biaya distribusi ke daerah terpencil menjadi hambatan tersendiri, dengan ongkos porter, sewa kendaraan, hingga penyeberangan yang mencapai ratusan ribu rupiah per hari.

Rahmad menekankan pentingnya respons cepat dan terkoordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil. Ia mendesak agar ego sektoral diturunkan dan fokus diarahkan sepenuhnya pada kepentingan rakyat Aceh. 

Ia juga mendorong penetapan status bencana nasional, penyediaan pembangkit listrik darurat, serta program pemulihan air bersih di tingkat gampong. 

Menurutnya, penanganan bencana yang adil, cepat, dan transparan merupakan wujud nyata persatuan, sekaligus bukti bahwa Aceh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI