Sabtu, 25 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / Krisis Ekonomi dan Media Sosial, Dua Ujian Baru Bagi Keluarga Sakinah

Krisis Ekonomi dan Media Sosial, Dua Ujian Baru Bagi Keluarga Sakinah

Jum`at, 24 Oktober 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Teuku Nurfaizil, alumni UIN Sultan Syarif Kasim Riau sekaligus mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Program Studi Hukum Keluarga. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan sosial, konsep keluarga sakinah yang menjadi dambaan setiap pasangan muslim kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. 

Hal ini disampaikan oleh Teuku Nurfaizil, alumni UIN Sultan Syarif Kasim Riau sekaligus mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Program Studi Hukum Keluarga.

"Keluarga sakinah tentu menjadi impian setiap pasangan. Namun, mewujudkannya di zaman sekarang, di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan gaya hidup yang begitu cepat, adalah tantangan besar bagi setiap rumah tangga,” ujarnya dalam wawancara kepada media dialeksis, pada Jumat (24/10/2025).

Teuku Nurfaizil menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam membangun keluarga sakinah saat ini terletak pada pergeseran nilai dan makna pernikahan. Ia menilai bahwa pernikahan bukan sekadar hubungan romantis, melainkan bentuk kerja kolektif antara suami dan istri.

“Pernikahan itu adalah kerja sama, bukan kompetisi. Zaman sekarang banyak pasangan muda yang lebih egaliter -- suami dan istri sama-sama bekerja, saling berbagi peran di rumah. Ini hal positif, tapi kalau tidak diimbangi komunikasi yang sehat, justru bisa memunculkan kebingungan peran,” jelasnya.

Di tengah isu krisis pangan dunia dan ketidakstabilan ekonomi global, tantangan lain yang tak kalah berat adalah kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan rumah tangga.

“Banyak konflik rumah tangga berawal dari masalah ekonomi. Maka penting sekali literasi keuangan. Suami istri harus belajar mengatur pemasukan dan pengeluaran secara seimbang,” jelas Nurfaizil.

Ia juga mengingatkan dampak negatif dari budaya konsumtif yang kian meningkat akibat maraknya media sosial dan platform e-commerce.

“Sekarang banyak pasangan muda yang mudah tergoda untuk membeli barang-barang branded yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Ini bisa menimbulkan masalah finansial. Harus ada skala prioritas dalam pengeluaran, dan kalau ada kelebihan penghasilan, sebaiknya diinvestasikan untuk masa depan,” katanya.

Ia menambahkan, perubahan sosial yang membawa nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang perlu diapresiasi, namun jika tidak diiringi dengan kesadaran terhadap tanggung jawab masing-masing, maka akan muncul sifat individualisme dalam rumah tangga.

“Yang awalnya diharapkan saling melengkapi, malah jadi saling menolak tanggung jawab. Inilah yang sering menjadi akar konflik dalam rumah tangga modern. Banyak pasangan akhirnya sulit mencapai ketenangan karena komunikasi dan komitmen tidak seimbang,” tuturnya.

Selain itu, Teuku Nurfaizil juga menyoroti benturan nilai tradisional dan modern dalam rumah tangga masyarakat Indonesia, khususnya Aceh.

“Masih ada pandangan tradisional bahwa istri hanya berperan di ranah domestik, sementara suami wajib mencari nafkah. Padahal, sekarang banyak perempuan juga bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pandangan seperti ini harus dikomunikasikan dengan bijak agar tidak menimbulkan salah paham,” ungkapnya

Ia menilai bahwa pasangan suami istri perlu berdialog terbuka untuk menyesuaikan peran tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. 

“Selama komunikasi baik dan niatnya untuk saling membantu, maka tidak masalah siapa yang bekerja atau siapa yang mengurus rumah. Yang penting, prinsip tolong-menolong dan tanggung jawab tetap dijaga,” tambahnya.

Lebih jauh, Teuku Nurfaizil menilai bahwa pergeseran gaya hidup yang menjauh dari nilai religius menjadi penghambat utama dalam mewujudkan keluarga sakinah.

“Keluarga sakinah dibangun atas dasar iman, kasih sayang (mawaddah wa rahmah), dan tanggung jawab moral. Namun, gaya hidup modern sering kali terlalu menekankan kesenangan duniawi, materi, dan status sosial. Akibatnya, orientasi spiritual dalam keluarga mulai kabur,” jelasnya.

Menurutnya, ketika pasangan lebih fokus pada pencapaian pribadi dan kebahagiaan materi, mereka kehilangan arah spiritual dalam berumah tangga. 

“Rumah tangga kehilangan makna, karena yang dikejar hanya duniawi. Padahal kebahagiaan sejati datang dari ketulusan dan iman yang kuat,” tambahnya.

Teuku Nurfaizil menegaskan bahwa konsep keluarga sakinah di Aceh daerah yang dikenal religius dan kaya nilai budaya Islam perlu dimaknai secara mendalam.

“Sebuah keluarga yang sakinah harus dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, disertai semangat saling menghormati dan tanggung jawab bersama. Ketenangan dan kebahagiaan tidak diukur dari kemewahan, tapi dari ketulusan cinta, kekuatan iman, dan keikhlasan menghadapi ujian hidup,” paparnya.

Ia berharap keluarga-keluarga Aceh mampu menjadi contoh rumah tangga Islami yang tidak hanya damai secara lahiriah, tetapi juga kuat secara spiritual dan moral.

“Jika nilai-nilai ini tumbuh dalam keluarga, maka masyarakat Aceh akan menjadi masyarakat yang berakhlak mulia dan harmonis,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI