Kamis, 18 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / 22 Hari Pascabencana Aceh-Sumatera, Layanan Dasar Warga Belum Pulih

22 Hari Pascabencana Aceh-Sumatera, Layanan Dasar Warga Belum Pulih

Rabu, 17 Desember 2025 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

kondisi permukiman warga pasca bencana banjir dan longsor. Foto: dok Katahati 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Memasuki 22 hari pascabencana ekologis banjir dan longsor yang melanda Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, warga terdampak masih hidup dalam kondisi darurat berkepanjangan. Hingga kini, persoalan hunian, listrik, dan distribusi gas elpiji belum tertangani secara menyeluruh.

Di sejumlah lokasi terdampak, rumah warga hanyut dan rusak berat. Tempat pengungsian darurat di aula serbaguna pemerintah mulai digusur dengan alasan tidak layak dan keterbatasan fasilitas, sementara hunian sementara belum tersedia. Kondisi ini membuat banyak keluarga kehilangan kepastian tempat tinggal.

Krisis juga meluas ke layanan publik dasar. Di beberapa wilayah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, listrik masih mengalami pemadaman, sementara gas elpiji langka dan harus diantre berhari-hari. Gangguan ini berdampak langsung pada aktivitas rumah tangga, usaha kecil, serta layanan sosial dasar.

Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri, menilai situasi tersebut menunjukkan lemahnya komando penanganan bencana. Menurutnya, negara sebenarnya memiliki kerangka hukum yang jelas dalam menangani bencana.

“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 sudah mengatur penanggulangan bencana sebagai manajemen risiko, mulai dari kesiapsiagaan, tanggap darurat, hingga pemulihan. Data BPBA sejak 2020 bahkan telah menyebut banjir sebagai ancaman utama di Aceh. Artinya, ini bukan semata bencana alam, tetapi kegagalan kesiapsiagaan,” kata Raihal, Rabu, 17 Desember 2025.

Ia juga menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut tidak memiliki “Tongkat Musa”. Menurut Raihal, pernyataan tersebut seharusnya dimaknai sebagai dorongan untuk memperkuat kepemimpinan kebijakan, bukan alasan atas lambannya respons.

“Tongkat Musa dalam konteks kebencanaan adalah tongkat komando kebijakan. Itu berarti keputusan tegas untuk memulihkan listrik, menjamin distribusi LPG, menyediakan hunian layak, dan menyatukan semua institusi dalam satu garis komando darurat,” ujarnya.

Selain itu, Katahati Institute menilai penanganan bencana belum responsif terhadap kelompok rentan. Hingga hari ke-22, belum ada data terbuka mengenai kondisi ibu hamil, lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas di lokasi bencana, padahal regulasi BNPB mewajibkan perlindungan khusus bagi kelompok tersebut.

Aceh, kata Raihal, memiliki kekhususan melalui pengakuan struktur mukim dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ia mendorong mitigasi berbasis mukim dan penyusunan rencana kontigensi di wilayah rawan sebagai langkah pencegahan jangka panjang.

“Banjir dan longsor ini bukan peristiwa tunggal. Ia mencerminkan kerusakan ekologis dan buruknya tata kelola sumber daya alam. Jika akar persoalan tidak disentuh, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu,” katanya.

Katahati Institute menegaskan, setelah 22 hari pascabencana, warga Aceh dan Sumatera tidak membutuhkan narasi mukjizat, melainkan komando kebijakan yang cepat, tegas, dan berpihak pada keselamatan rakyat.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI