DIALEKSIS.COM | Jantho - Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Aceh melakukan kunjungan ke Zawiyah dan Perpustakaan Kuno Teungku Chik Tanoh Abee di Seulimeum, Aceh Besar, Jumat (14/11/2025).
Kunjungan resmi yang dipimpin langsung oleh Kepala BPK Wilayah I, Piet Rusdi, ini menjadi langkah penting dalam memperkuat pelestarian khazanah intelektual dan sejarah perjuangan masyarakat Aceh.
Rombongan dari BPK Wilayah I disambut hangat oleh Cutbang Abulis, perwakilan pimpinan Zawiyah yang juga merupakan cucu dari ulama besar Abu Muhammad Dahlan al Fairusy al Baghdady Tanoh Abee serta keponakan dari Cut Fid Tanoh Abee, sosok pewaris tradisi keilmuan yang hingga kini menjaga jejak intelektual Zawiyah tersebut.
Cutbang Abulis mengantar para tamu menelusuri ruang-ruang bersejarah yang telah berabad-abad menjadi pusat pendidikan Islam dan perjuangan masyarakat Aceh.
Salah satu titik kunjungan yang menjadi sorotan ialah Pustaka Kuno Teungku Chik Tanoh Abee, yang menyimpan ratusan manuskrip penting karya ulama masa lalu.
Di dalamnya tersimpan berbagai naskah berusia puluhan hingga ratusan tahun yang mencakup disiplin ilmu fikih, tasawuf, sejarah, serta ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Cutbang Abulis menunjukkan beberapa naskah tersebut, yang ditulis dengan tinta dan kertas tradisional, sebagian masih terjaga dengan sangat baik berkat perawatan turun-temurun.
Manuskrip-manuskrip ini bukan hanya memuat ajaran dan catatan keilmuan, tetapi juga menjadi rekam jejak peradaban Aceh sebagai pusat intelektual di Nusantara.
Piet Rusdi kagum atas kelestarian naskah-naskah tersebut. Menurutnya, koleksi ini merupakan aset bangsa yang harus dijaga dengan serius.
“Kita melihat langsung betapa kayanya warisan intelektual Aceh. Ini bukan hanya milik masyarakat Tanoh Abee, tetapi juga menjadi bagian penting dari sejarah budaya Indonesia,” ujarnya.
Rombongan kemudian melanjutkan peninjauan ke sejumlah situs bersejarah di sekitar kompleks Zawiyah. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bekas benteng pertahanan Tanoh Abee, yang pada masa lampau menjadi pusat perlawanan ulama, Ulee Balang, dan masyarakat setempat terhadap penjajah Belanda dan Jepang.
Sisa-sisa struktur benteng yang masih berdiri menghadirkan suasana historis yang kuat. Batu-batu tua itu seakan menjadi saksi bisu atas keteguhan masyarakat Aceh dalam mempertahankan tanah, martabat, dan identitas mereka.
Kunjungan berlanjut ke Rumah Adat Aceh peninggalan Abu Muhammad Dahlan Tanoh Abee, atau Teungku Chik Tanoh Abee ke-9. Rumah panggung kayu berusia puluhan tahun itu tetap terjaga megah, dengan ukiran khas Aceh serta struktur arsitektur yang merefleksikan keharmonisan antara estetika, spiritualitas, dan nilai adat.
Bangunan ini memiliki kedudukan penting tidak hanya sebagai peninggalan fisik, tetapi juga sebagai pusat perkembangan keilmuan Islam pada masa lalu. Bentuknya yang khas memperlihatkan identitas Aceh yang kuat, sekaligus menjadi simbol kebesaran tradisi intelektual Tanoh Abee.
Kunjungan BPK Wilayah I Aceh ke Tanoh Abee ini tidak hanya menjadi agenda kerja biasa, melainkan sebuah upaya strategis untuk membangun sinergi antara lembaga pelestarian budaya dengan pengelola situs sejarah lokal.
Melalui pertemuan ini, berbagai langkah ke depan mulai dibicarakan, termasuk pendataan, digitalisasi naskah kuno, serta upaya peningkatan perlindungan terhadap situs-situs bersejarah di kawasan tersebut.
“Kami berharap kunjungan ini menjadi awal dari kerja sama yang lebih besar dan berkelanjutan. Warisan budaya Aceh, terutama yang berada di Tanoh Abee, memiliki nilai yang sangat tinggi dan harus diwariskan kepada generasi mendatang,” tutupnya.[*]